Kemarin, elit partai Demokrat dan Gerindra ketemu. Hasilnya, akan menjalin kerjasama pada pilpres putaran kedua, jika salah satu diantara tiga pasang kandidat gugur. Melihat ini, saya ada beberapa pertanyaan. Bukankah Demokrat sudah bergabung ke Nasdem mencapreskan Anies Baswedan.? Lalu apa maksud Demokrat bisa jalin kerjasama di putaran kedua..? Atau jangan -jangan merupakan upaya membuka peluang sebagai opsi pilihan kedua.?
Naah, pertanyaan terakhir itu yang justru lebih mengental. Mengingat ada perkembangan terkini yang membuat Demokrat semakin ragu untuk tetap berkawan dengan Nasdem. Lagi-lagi ya masalah figur cawapres. Bahkan, polemik soal pendamping Anies ini sekarang malah lebih masuk kedalam. Bukan hanya sekedar di luaran. Sebuah kondisi yang sungguh sangat mengkhawatirkan.
Anda tahu, selang satu hari pasca pertemuan Demokrat dan Gerindra, petinggi Nasdem menyampaikan kritik terhadap capresnya sendiri. Ya benar. Wakil Ketua Umum Partai Nasdem Ahmad Ali keberatan tentang kriteria baru cawapres yang disampaikan Anies. Bahwa kandidat untuk posisi ini harus memiliki latar belakang bebas dari catatan hukum apapun.
Disarikan dari tayangan Kompas.com 21 Juli 2023 Ahmad Ali berpendapat, bahwa Anies tidak perlu membuat kriteria untuk menentukan wakil. Yang punya kapasitas untuk itu adalah partai politik. Dalam upaya mencari figur, Anies sebaiknya tetap berpatokan pada kriteria yang sudah tertulis di dokumen nota kerjasama koalisi. Bukan malah menyodorkan kriteria tambahan.
Lagi-lagi, keberatan Ahmad Ali tersebut memunculkan pertanyaan. Apakah harus sejauh itu sikapnya menanggapi kriteria cawapres Anies, menyampaikannya ke publik lewat media dan tidak secara langsung face to face ketemu yang bersangkutan..? Apakah tidak justru membingungkan, baik dikalangan umum para pendukung Anies diluaran sana, maupun di internal koalisi mereka sendiri..?
Ingat, dulu saat pertama kali di umumkan sebagai capres partai Nasdem, melalui Ketua Umumnya Surya Paloh Anies diberi kewenangan menentukan sendiri figur cawapres. Ini berarti, Anies pula yang akan mencari dan memilih nama. Maka ketika Anies membuat kriteria, meski seumpama memang sudah ada, ya tidak bisa disalahkan. Ini adalah sesuatu yang wajar.
Bahkan pada skala tertentu bisa dikatakan wajib. Sebab mencari kandidat cawapres bukan perkara mudah. Eksistensinya sangat berpengaruh pada posisi capres. Jika ada catatan hukum, sedikit banyak Anies akan kena senggol. Bahkan dapat dijadikan isu negatif sejak sekarang hingga habis masa kampanye nanti. Sudah betul sebenarnya langkah Anies. Kok malah di gugat..?
Saya lalu berspekulasi. Jangan-jangan Nasdem memang tak setuju terhadap pilihan Anies tentang sosok cawapres, yang kabarnya sudah ada di kantong Anies. Akibatnya terjadi tarik menarik. Ahmad Ali kemudian merasa perlu untuk mengungkapkannya ke publik. Agar ada kontrol terhadap Anies. Meski sudah diberi otoritas menentukan sendiri, tak berarti Anies harus menafikkan keberadaan Partai Nasdem.
Kalau memang begitu, maka ada benarnya prediksi saya pada beberapa tulisan sebelumnya di forum Kompasiana ini. Apa itu..? Nasdem ingin mendominasi gerak, langkah dan keputusan di Koalisi Perubahan untuk Persatuan atau KPP yang dibentuk bersama Demokrat dan PKS. Lebih jauh, Nasdem ingin melakukan kooptasi terhadap kandidat cawapres dari Anies. Termasuk juga dari Demokrat dan PKS.
Naah, para petinggi Demokrat, dan saya yakin juga di PKS, nampaknya melihat berbagai gejala itu. Apalagi, usaha Demokrat untuk menyodorkan Ketua Umumnya Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY, tak juga mendapat tanggapan dari Nasdem. Kesimpulannya kemudian, akibat ulah Nasdem AHY dipandang berat untuk dipaksakan masuk jadi cawapres Anies.
Maka daripada tak dapat posisi sebagai kandidat RI-2, ditambah rasa khawatir Nasdem ingin jadi penguasa tunggal di KPP, dan ada kemungkinan berlanjut hingga saat penyusunan kabinet jika Anies menang pilpres 2024 kelak, Demokrat memandang perlu untuk melakukan antisipasi. Ambil ancang-ancang merapat ke Gerindra. Agar juga bisa memiliki peran dan meraih sukses di pemilu 2024.