Assalamualaikum Pak Ganjar. Pertama-tama, saya doakan Pak Ganjar sehat selalu. Agar tak menemui halangan saat turun blusukan ke bawah melayani kepentingan rakyat. Khususnya warga Jawa Tengah. Kedua, saya doakan juga Pak Ganjar diberi jalan politik terbaik oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Mengapa, karena kalau sudah Tuhan yang kasih jalan, maka siapapun manusianya, sebesar apapun kuasanya dan sehebat apapun kekuatannya, tak kan ada yang bisa menghalangi langkah Pak Ganjar.
Dalam surat terbuka ini saya sekedar ingin mengeluarkan uneg-uneg. Saya awali dengan pertanyaan. Apakah Pak Ganjar dapat menebak dengan pasti bagaimana nasib ke depan..? Yakin saya, Pak Ganjar agak sulit menjawabnya. Mengapa, karena kondisi hidup kita sebagai manusia termasuk Pak Ganjar, tidak ditentukan secara an sich. Ada campur tangan Tuhan didalamnya.
Kalau demikian, untuk apa lagi kita masih harus berusaha jika ketentuan hidup sudah diatur oleh Tuhan..? Jawabnya tentu tak bisa di forum ini. Sebab bukan soal itu tujuan saya berkirim surat. Disini saya hanya ingin menggugah. Kira-kira bagaimana Pak Ganjar menyikapi fenomena tingginya elektabilitas Bapak. Terutama yang ada hubungannya dengan rebutan vox pop di pilpres 2024.
Maaf tak bermaksud menggurui. Selaku makhluk, Pak Ganjar tak mungkin bisa menghindar dari nasib. Karena memang ada dalam koridor otoritas Tuhan. Tapi sebagai politisi yang bernaung di bawah bendera PDIP, Pak Ganjar tentu bisa memilih. Antara ikut otoritas Ibu Megawati, atau bagaimana..? Jawab Bapak atas pertanyaan itu akan menjadi gambaran kepastian bagi kita. Bapak siap merespon kehendak rakyat, atau tetap di posisi kader seperti sekarang.
Ijinkan saya berbelok sedikit Bapak. Saat masih belajar, saya teringat pendapat Imam Al-Ghozali tentang ikhtiar dan takdir Tuhan untuk manusia. Mana yang harus jadi prioritas..? Mendahulukan usaha atau langsung pasrah terima nasib..? Bagaimana kita menyikapi keduanya, yang seakan-akan bertentangan itu.? Mengapa ini harus ditanya, karena ikhtiar dan takdir merupakan dua hal yang tidak terhindarkan. Sama-sama melekat pada diri manusia. Masalahnya adalah, bagaimana kita menyikapi keduanya.
Bagi Al-Ghozali, yang wajib didahulukan adalah ikhtiar. Yaitu berusaha dengan sungguh-sungguh, mengeluarkan segala daya upaya, kemampuan dan potensi untuk menyelesaikan masalah yang ada didepan kita. Karena dihukumi wajib, maka jika ada manusia yang hanya diam saja, pasrah bongkokan tak mau berusaha, ya dianggap berdosa. Kecuali ada udzur yang bisa di tolerir.
Baru setelah usaha dilakukan, langkah berikutnya adalah menerima nasib. Istilah lainnya adalah tawakkal. Yaitu berserah diri sepenuhnya atas segala yang akan diputuskan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Langsung diberi kesuksesan bersamaan dengan dilakukannya usaha, ya syukur. Ditunda kelain waktu, ya diterima. Apapun pilihan Tuhan, pasti baik bagi kita.
Naah, dalam konteks tersebut saya tergerak tulis surat ini. Sesuai dengan fenomena yang sedang terjadi pada diri Pak Ganjar. Dimana saat ini, Bapak lagi didatangi oleh kehendak masyarakat untuk nyapres jadi pengganti Pak Jokowi. Indikatornya, elektabilitas Bapak yang selalu nangkring di puncak klasemen. Mengalahkan Prabowo Subianto dan Anies Baswedan.
Sekali lagi mohon maaf Bapak. Kalau mengacu pada pendapat Al-Ghozali di atas, apalagi sebagai seorang muslim yang taat dan dari jalur Bu Ganjar punya latar belakang pesantren, mau tak mau terlebih dulu Bapak wajib melakukan usaha memilih. Hendak putuskan terima fakta elektabilitas, atau mengingkari..? Baru setelah putuskan pilih yang mana, Bapak bisa pasrah kepada Tuhan Yang Maha Menentukan.
Dilematis memang bagi Bapak. Terlebih jika menengok fakta sejarah. Disarikan dari tayangan DetikNews 06/12/2022, eksistensi Bapak dari awal, sejak masih belajar politik, merintis karir selaku politisi, terlibat dalam kegiatan PDIP, hingga menjadi anggota DPR RI dan sekarang menjabat sebagai Gubernur Jateng periode kedua, semuanya tak bisa lepas dari fasilitas PDIP dan terutama ikatan emosional dengan keluarga Bu Mega.