Untuk kedua kalinya Ketum Nasdem Surya Paloh bertemu secara formal dengan Ketum Demokrat Agus Harimutri Yudhoyono atau AHY. Kata Paloh usai pertemuan, Nasdem Demokrat PKS sedang menyesuaikan frekuensi. Untuk deklarasi tinggal tunggu hari dan bulan baik. Juga ditekankah oleh Paloh, bahwa hubungan yang terjalin selama ini sudah makin kokoh (CNN Indonesia, 27/10/2022).
Disarikan dari sumber yang sama, AHY komentar penuh optimis dan idealis. Kata putra mahkota presiden keenam SBY itu, ketiga partai punya keinginan menang. Bukan hanya jalan bersama. Selanjutnya ditambahkan, tak ada pembahasan tentang syarat koalisi. Karena akan cenderung membuat rapuh. Baik Nasdem, Demokrat dan PKS dalam posisi derajat setara.
Yang tak kalah ideal juga adalah pernyataan salah seorang pengurus PKS Mardani Ali Sera. Kader elit yang duduk sebagai Ketua DPP ini mendorong agar semua pihak legowo menanggapi hasil pertemuan Paloh AHY. Demi memenangkan pilpres 2024. Mardani bahkan memberi apresiasi atas ketekunan Paloh dan AHY untuk terus membicarakan rencana soal koalisi secara musyawarah.
Saya senyum-senyum saja menyimak komentar mereka bertiga. Andai masih bocil, saya mungkin tertawa ngakak sambil guling-guling dilantai. Sayang saya sudah agak berumur. Kalau tiru bocil, malu dilihat istri dan anak-anak. Artinya apa, kita-kita ini sudah dewasa. Paham betul apa yang terjadi di dunia politik. Tak perlulah main petak umpet bagai orang munafik mengatakan rencana koalisi tanpa syarat dan legowo.
Ayo siapa berani taruhan. Mau tidak salah satu, salah dua atau bahkan salah tiga diantara Nasdem Demokrat PKS disodorkan perjanjian tak dapat apa-apa. Baik saat masih berproses maupun ketika menang pilpres kelak. Kasihkan itu dah semua jabatan penting kepada para SDM professional yang banyak bertebaran di negeri ini. Yakin saya ketiganya pasti ogah. Dan yang mau bertaruh terima tantangan saya tak ada yang berani.
Sudahlah. Tak perlu bersandiwara membawa lakon para brahmana. Seakan penuh kearifan dan kebijakan. Apalagi tak mau urusan jabatan. Akui saja kalau dil-dilan soal pembagian kekuasaan belum rampung. Kita-kita ini, sebagai penikmat dan pemegang elektoral, paham kok. Bahwa pembagian kekuasaan dialam demokrasi politik adalah hal sangat wajar. Jadi tak perlu disembunyikan. Lebih-lebih sampai dibuat topeng menutupi kepentingan.
Apalagi kalau melihat syarat efektifitas dan efesiensi pemerintahan kalau kelak jagoan pilpres menang kontestasi. Dimana, soliditas, kekompakan, komitmen, kepatuhan dan loyalitas mutlak dibutuhkan. Ya makin kentara kalau pengelolaan pemerintahan itu memang harus dipegang oleh teman-teman sendiri. Tidak boleh orang lain. Terutama pihak musuh. Disini, pembagian kekuasaan tak mungkin bisa dihindari.
Anda ingat Rizal Ramli. Kalau ingat, coba balik memori kebelakang saat ekonom ini ditarik sebagai anggota kabinet pasangan Jokowi Yusuf Kalla. Sebelumnya, Rizal aktif sebagai oposisi yang kerapkali melakukan kritik. Entah karena faktor apa, diangkat sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman. Namun jabatannya tak lama. Baru 10 bulan, sudah dicopot oleh Pak Jokowi.
Melihat hal tersebut, saya kira sebuah keniscayaan dalam proses koalisi antara Nasdem Demokrat PKS membahas soal posisi. Malah, kalau sama sekali tak pernah disinggung, lalu sekonyong-konyong terjalin ikatan, ini sebetulnya yang sangat rapuh dan kelanjutannya patut dicurigai. Rapuh karena tak ada landasan kepentingan yang disetujui bersama. Patut dicurigai, bahwa kedepan pasti akan bermasalah dan bisa jadi bubar tengah jalan.
Berkaca pada pengalaman, membentuk koalisi gemuk, artinya lebih dari dua memang agak sulit. Kecuali ada saling mengalah. Turunkan ego dan bersikap realistis. Biasanya, yang dijadikan ukuran adalah jumlah suara. Parpol yang mendapat elektoral besar, layak dapat jatah posisi strategis dan jumlah jabatan lebih banyak. Dalam konteks ini, urut-urutannya adalah Nasdem 9.05%, PKS 8.21% dan terakhir Demokrat 7.77%.