Pemerintah membuat kebijakan baru soal masak-memasak ibu rumah tangga didapur. Dari yang awalnya pakai kompor gas, di konversi ke kompor listrik. Alasannya, pakai listrik lebih hemat. Kata Direktur Utama PT PLN Darmawan Prasodjo, masyarakat bisa hemat hingga Rp. 8.000,- per kilogram (Kompas.com, 21/09/2022).
Tak pelak, program kompor listrik itu menimbulkan pro kontra dikalangan masyarakat bawah. Mirip dengan kondisi saat ada konversi minyak tanah ke gas dulu saat pemerintahan Jokowi Jusuf Kalla. Cuma pada akhirnya mau tak mau tetap harus beralih ke gas. Karena kebijakan yang ada kaitan dengan minyak tanah dibatasi dan diperketat.
Rasa-rasanya, kali ini juga mirip. Jika pemerintah maksa, masyarakat tak akan bisa menolak. Lha bagaimana hendak masak pakai gas, jika ternyata infrastruktur yang ada kaitan dengan gas dan harganya dinaikkan sedemikan rupa. Mau tak mau masyarakat pasti beralih ke kompor listrik. Ya gimana lagi..
Hanya saja, jika kebijakan itu jadi dilaksanakan, vox pop yang berkembang di masyarakat harus diperhatikan. Terutama yang ada kaitan dengan persiapan sebelum konversi gas ke listrik berjalan secara penuh. Mengapa demikian, karena ini ada kaitan dengan kelancaran, keselamatan dan keberhasilan program konversi.
Pengalaman dulu, alih bahan bakar masak dari minyak tanah ke gas menimbulkan beberapa persoalan. Peristiwa yang dominan adalah ledakan tabung. Hingga menimbulkan kebakaran bahkan makan korban jiwa. Itu terjadi karena sebelum pengetahuan masyarakat tentang seluk beluk kompor gas memadai, langsung diminta pakai gas.
Akibatnya, perlakuan yang diberikan pada kompor gas sama dengan saat masih menggunakan minyak tanah. Berhubung ada beda sifat dan senyawa yang sangat mencolok antar kedua bahan bakar itu, dan itulah yang tak dipahami masyarakat, maka terjadilah berbagai masalah sebagaimana saya sebut tadi.
Kali ini, masalah-masalah yang bisa muncul akibat konversi gas ke listrik tak boleh terjadi. Karenanya, sosialisasi, edukasi dan persiapan infrastruktur betul-betul harus dilakukan secara matang. Tak boleh ada satupun yang tercecer. Agar program tersebut bisa berjalan sesuai harapan dan tak menimbulkan masalah baru.
Sebagai info, sekali waktu dirumah saya menggunakan beberapa alat masak jenis listrik. Bukan hanya berupa kompor. Tapi ada juga yang lain. Seperti pemanggang roti, magic com dan presto. Saya gunakan tidak setiap saat, karena dalam pengalaman saya, alat masak listrik lebih boros biaya token dibanding beli gas.
Padahal, menurut Direktur Utama PLN diatas, pakai listrik lebih hemat sampai Rp. 8.000,- perkilogram. Ini saya jadi tak paham. Saya yang salah atau tak tahu cara-cara yang efisien menggunakan alat masak listrik. Atau Pak Direktur yang sekedar menyampaikan promosi agar masyarakat mau beralih dari gas ke kompor listrik. Silahkan para pembaca nilai sendiri.
Maka berkaca dari pengalaman saya, sebelum konversi gas ke listrik dilaksanakan secara penuh, ada beberapa hal yang patut diperhatikan. Pertama soal pengetahuan. Perlu ada upaya meningkatkan pemahaman masyarakat tentang seluk beluk penggunaan alat masak listrik. Terutama bagi kalangan bawah yang sudah sepuh. Upaya ini wajib melibatkan tenaga ahli hingga ke tingkat desa.