Lihat ke Halaman Asli

Zabidi Mutiullah

TERVERIFIKASI

Concern pada soal etika sosial politik

Indonesia Keluar dari AFF, Jangan Lebay, Ah

Diperbarui: 23 Juli 2022   06:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Photo By Kompasiana

Kompasiana angkat topik soal Indonesia Keluar AFF. Mungkin karena masalah ini terus menjadi trending. Padahal, gelaran Piala AFF sudah selesai lebih dari sepekan. Tepatnya 15 Juli 2022 lalu. Tulis Kompasiana, "Kabar mengenai keinginan Indonesia untuk keluar dari AFF terus bergema di media sosial karena kecewa dengan hasil di Piala AFF U19 2022. Bukan hanya itu. Selain keluar dari AFF, netizen juga berharap Indonesia bisa pindah zona, alias bergabung dengan Federasi Sepak Bola Asia Timur" (Topik Pilihan, 21 Juli 2022).

Bagi saya, Indonesia hendak bertahan atau keluar dari AFF boleh-boleh saja. Itu adalah sebuah pilihan. Menunjukkan kekuatan dan independensi sebagai negara dengan federasi olahraga sepakbola yang berdaulat. Negara manapun tidak bisa memaksa. Begitupun sikap hendak bergabung dengan federasi lain. Baik EAFF atau Federasi Sepak Bola Asia Timur. Maupun OFC atau Konfederasi Sepak bola Oseania. Indonesia bebas memilih. Sekali lagi, tidak ada satupun negara yang bisa memaksa.

Namun demikian, pilihan sikap keluar itu sebaiknya bukan karena kasus "sepakbola gajah" antara tim Thailand versus Vietnam di piala AFF U19 2022 beberapa waktu lalu. Jika itu alasannya, sangat tidak elegan dan kurang terhormat. Untuk tidak mengatakan lebay atau ngambek. Ya benar. Sebaiknya harus ada alasan lain yang lebih baik dari itu. Atau untuk sementara tetap bertahan. Sambil menunggu momentum yang lebih tepat. Baru kemudian keluar.

Gelaran Piala AFF U19 2022 salah satunya mengunakan regulasi Head to Head. Oleh timnas Indonesia, aturan ini dianggap merugikan. Namun yang perlu dipertanyakan, bukankah soal Head to Head sudah dibicarakan dan diketahui bersama...? Bukankah sudah menjadi kesepakatan antar tim semua negara peserta..? Mengapa tidak di protes saat masih dalam tahap technical meeting..? Ingat, tidak melakukan protes dan mengikuti gelaran pertandingan dari awal, sama artinya dengan sikap setuju terhadap aturan Head to Head. Apapun konsekwensinya. Termasuk dampak seperti dialami Timnas U19 Indonesia.

Memang harus diakui, gelaran Piala AFF U19 kemarin ada masalah. Namun bukan soal regulasi. Tapi pelanggaran fair play oleh Tim Thailand dan Vietnam. Kedua tim ini main "curang". Sama-sama tidak mau saling mengalahkan. Cukup imbang dan berbagi gol 1-1. Tujuannya, apalagi kalau bukan ingin menyingkirkan Tim Garuda. Melihat agresifitas gol yang ditunjukkan saat melumat Tim Brunai Darussalam, Myanmar dan Filipina, nampaknya kedua tim ini takut jika harus menghadapi Indonesia dipertandingan selanjutnya. Ini sebenarnya bagus. Menurut saya, secara tidak langsung merupakan pengakuan tim kedua negara atas hebatnya Timnas Garuda.

Bagi saya, Timnas Garuda adalah juara sebenarnya dalam gelaran Piala AFF U19 2022. Meskipun agak kecewa karena tidak lolos ke partai semifinal, tapi masalahnya bukan karena kualitas Tim. Melainkan karena kurang beruntung akibat mental tidak bermartabat tim Thailand dan Vietnam. Jika faktor ini lalu dijadikan alasan hengkang dari AFF dan bergabung ke federasi lain, lalu apa bedanya kita dibanding mereka. Ya sama saja. Sama-sama bermental buruk. Thailand-Vietnam bermental buruk main sepak bola gajah. Sedang Indonesia juga bermental buruk, bersikap lebay karena ingkar pada kesepakatan.

Aspirasi agar Indonesia keluar dari AFF lalu ikut bergabung ke EAFF dan OFC silahkan saja. Cuma alasannya bukan karena lebay. Tapi karena faktor kualitas persaingan. Jelas sekali, Tim yang bertarung di EAFF dan OFC ada diantaranya yang punya rangking jauh diatas Indonesia. Macam Jepang, Korsel, China dsb. Ikut bergabung dengan mereka dalam satu turnamen, tentu merupakan tantangan sangat berat. Untuk kemajuan sebuah Timnas, itu peluang besar. Tulis Kompasiana, "jika Indonesia bisa bergabung dengan EAFF, maka level Timnas Indonesia bisa naik. Mungkin tidak secara instan, tetapi dengan berkesempatan bertanding dengan tim-tim sekelas Korea Selatan hingga Jepang yang notabene tim kuat di Asia, akan memberi experience berbeda (Topik Pilihan, 21 Juli 2022 )

Secara keseluruhan, di bawah pelatih Shin Tae Yong Timnas Garuda berkembang lebih baik. Memang belum dapat mempersembahkan gelar juara. Namun harus diakui, kualitasnya tambah meningkat. Salah satu strategi pelatih asal Korsel yang patut diacungi jempol adalah keberaniannya memilih pemain muda. Ini bukan tanpa resiko. Selain kurang pengalaman, peluang menang saat bertanding lawan tim yang kualitasnya lebih baik, tergolong kecil. Resiko dikecam oleh publik juga besar.

Namun Shin Tae Yong tak bergeming. Di awal melatih semua level, kekalahan demi kekalahan dialami oleh Timnas. Namun, tambah kebelakang kualitas kepelatihan Shin makin kelihatan. Salah satu bukti nyata adalah perjuangan Timnas senior saat lolos Piala Asia 2023. Begitu heroiknya Mark Klok dan kawan-kawan, hingga meskipun sempat tertinggal lebih dulu dari Kuwait, masih mampu menyamakan kedudukan. Bahkan akhirnya menambah gol menjadi 2-1 untuk kemenangan Timnas. Itu artinya, sistem kepelatihan Shin tidak menggunakan model instan. Shin lebih suka yang bertahap. "Hari ini memang kalah. Tapi beberapa tahun kedepan, akan lahir Timnas Garuda Generasi Baru yang akan berjaya membawa harum nama Indonesia". Jadi, daripada memperdebatkan keluar atau tidak dari AFF, saya lebih suka mendiskusikan tentang model kepelatihan juru taktik asal korsel ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline