Lihat ke Halaman Asli

Zabidi Mutiullah

TERVERIFIKASI

Concern pada soal etika sosial politik

Anak Sopir Bus yang Kurus Itu Ternyata Kuat

Diperbarui: 26 Mei 2022   16:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pak Ganjar Dan Pak Jokowi, Dok. Kompas.com/pemprov jateng

Siapa Pak Jokowi..? Beliau Presiden kita. Perawakan kurus. Badan kalah kekar di banding Kaesang. Sang putra bungsu yang jualan pisang itu. Pernah di ajak main panco. Kata Kaesang, sambil merem sekalipun, bapak pasti kalah. Bahkan, lanjut Kaesang, bisa kumat itu encok jika bapak tetap ngotot.

Beda lagi saat Pak Jokowi pidato. Nilai retorikanya biasa-biasa saja. Cenderung datar. Tidak berapi-api bagai Bung Karno. Dibanding Anis Baswedan, kurang "akademis". Apalagi pakai bahasa inggris. Agak "belepotan". Bahkan pernah beredar tangkapan layar twitter hoaks. Isinya, gambaran seolah-olah Pak Jokowi sedang bingung saat duduk diantara para pemimpin dunia yang bicara menggunakan bahasa Inggris (Medcom.id, 20 April 2020).

Kecuali yang dari Kaesang, begitulah kira-kira pandangan para penentang Pak Jokowi. Cenderung mendiskreditkan. Terkesan kurang baik. Tapi siapa sangka, dibalik persepsi yang cenderung negatif itu, terselip potensi kecerdikan luar biasa. Piawai bermain politik dan sulit ditebak. Mampu membalik asumsi lawan politik. Hingga mereka jadi bingung dan kecelik.

Pak Jokowi memang tokoh politik istimewa. Jika para presiden sebelumnya punya latar belakang keluarga terpandang, maka beda dengan beliau. Meminjam ungkapan Bang Adian Napitupulu, Jokowi bukan anak siapa-siapa. Jokowi sama seperti kita. Dari keluarga sederhana. Sang ayah, Wijiatno Notomiarjo, punya profesi sebagai penjual bambu dan kayu. Bahkan, untuk nambah inkam keluarga, pernah jadi sopir bus.

Namun siapa sangka, meskipun hanya anak seorang supir bus, Pak Jokowi mampu menguncang Indonesia. Bahkan dunia. Beliau jeli melihat momentum politik. Hitungannya nyaris selalu tepat. Beliau betul-betul paham. Kapan harus diam. Pada saat apa mesti bersuara. Dan dalam kondisi bagaimana pantas untuk marah.

Hal tersebut nampak jelas saat Pak Jokowi membuka Rakernas V Relawan Pro Jokowi atau Projo, di Balai Ekonomi Desa Ngargogondo, Kecamatan Borobudur, Magelang Jawa Tengah pada sabtu, tanggal 21 Mei 2022. Di acara ini, secara khusus beliau datang untuk membuka rakernas. Disitu ada juga Ganjar Pranowo. Seorang capres yang hasil surveynya senantiasa nangkring di puncak klasemen. Lalu apa yang terjadi berikutnya..? Dalam salah satu penggalan pidatonya, mengutip Kompas.com 25 Mei 2024, Pak Jokowi berkata, ""Jangan tergesa-gesa, jangan tergesa-gesa. Meskipun, meskipun, mungkin yang kita dukung ada di sini".

Sontak penegasan tersebut mendapat sambutan meriah dari para peserta Rakernas. Terutama relawan pendukung Ganjar Pranowo. Mereka bersorak-sorai. Tepuk tangan kegirangan sambil meneriakkan nama Ganjar. Pernyataan Jokowi ini ditengarai sebagai sinyal. Restu ke Ganjar untuk maju sebagai capres 2024.

Apa yang disampaikan Pak Jokowi, jelas mengandung pesan yang sangat kuat. Pasti ada pengaruh terhadap manuver politik yang saat ini tengah dirancang oleh masing-masing parpol. Diluar peserta rakarnas, utamanya para politisi kontra Ganjar, dan kebetulan nonton lewat media elektronik atau baca berita online, penggalan pidato itu tentu membuat mereka sedikit "jantungan". Apalagi terhadap PDIP. Partai yang dari awal menjadi pengusung Jokowi. Sejak pilwali di Kota Solo. Lanjut Pilkada DKI Jakarta. Hingga mampu naik ke puncak kekuasaan menjadi Presiden dua periode.

Bagaimana sikap PDIP..? Jika pilih afirmatif terhadap pernyataan Pak Jokowi, tentu partai banteng moncong putih ini senang bukan main. Tapi kalau pilih sikap negasi, seyogyanya pantas ketar-ketir. Jika tidak diantisipasi dari awal, bisa-bisa seperti pepatah, "sudah jatuh, masih tertimpa tangga". Sudah kalah pilpres, masih terjun bebas pula yang namanya suara pileg.

Rakernas Projo di Magelang pasti diperhitungkan oleh PDIP. Sebab, tak bisa dipungkiri, Jokowi memiliki pengikut setia dan militan. Baik yang berasal dari luar partai, terlebih lagi yang memang kader PDIP sendiri. Mengabaikan potensi dan kekuatan Jokowi, meskipun tidak bisa dicalonkan lagi, sama dengan membuka peluang tergerusnya suara PDIP.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline