Lihat ke Halaman Asli

Walaupun Berada di Sudut Nusantara, Semangat Bung Tak Pernah Padam

Diperbarui: 3 Juli 2024   13:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tahun 1934, aroma asin dari laut Flores menyambut Soekarno saat kapal uap yang ditumpanginya merapat di pelabuhan kecil kota Ende. Sorotan mata Soekarno tajam namun penuh rasa ingin tahu, menyapu pemandangan sekitar. Ia adalah pemuda penuh enerji revolusioner yang dipaksa oleh Belanda untuk mengasingkan diri di sudut terpencil nusantara ini.

Berjalan di sepanjang jalan berdebu, ia merasakan hentakan nuansa berbeda dibandingkan dengan hiruk-pikuk Bandung atau Surabaya. Ende, dengan bukit-bukit hijau yang mengelilinginya, adalah tempat yang indah, tetapi bagi seorang nasionalis seperti Soekarno, keindahan itu terasa sepi dan menyakitkan.

Soekarno ditempatkan di sebuah rumah sederhana dengan halaman kecil yang dipenuhi bunga kamboja. Setiap pagi, embun yang turun membasahi kelopak bunga itu menjadi saksi bisu pergulatan batin seorang pejuang. Apakah ini akhir dari perjuangannya? Akankah aksinya di garis depan kemerdekaan berhenti di lembah sunyi ini?

Namun semangat Soekarno tak meredup. Di dalam keterasingan ini, ia menemukan ruang untuk berefleksi dan menggali ide-ide besar. Matahari pagi yang menyinari Ende memberikan energi baru, dan Soekarno mulai menulis. Tulisan, baginya, adalah senjata yang tidak dapat direnggut oleh pihak Belanda. Dalam kesunyian, ia menghidupkan kembali semangat perjuangan lewat coretan-coretan tentang semangat, persatuan, dan cita-cita bangsa merdeka.

Di tengah kegelapan malam, Soekarno sering duduk di beranda rumahnya, memandang bintang-bintang yang menghiasi langit Ende. Dalam keheningan itu, ia merasa dekat dengan rakyat Indonesia yang sama menderita seperti dirinya. Bintang-bintang tersebut seolah membisikkan harapan dan pengharapan akan kebebasan.

Tak lama, Soekarno mulai berhubungan dengan masyarakat setempat. Ia mengajar pemuda-pemudi Ende tentang sejarah dan pentingnya persatuan. Ia juga mendirikan tonil "Kelimutu" yang menjadi media untuk menyalurkan aspirasi dan menyemangati masyarakat. Tonil ini memainkan peran penting dalam menyebarluaskan ide-ide kebangkitan nasional.

Suatu pagi, Soekarno sedang berdiri di tepi pantai, menatap ombak yang bergulung-gulung tanpa lelah. Seorang nelayan tua mendekatinya. "Tuan Soekarno," panggilnya dengan sopan.

"Ya, Pak?" Soekarno menoleh, tersenyum ramah.

"Saya dengar cerita-cerita tentang kamu. Tentang cita-cita dan perjuanganmu. Bukan hanya kami yang membutuhkan kamu di sini, tapi juga seluruh rakyat Indonesia."

Soekarno mengangguk pelan, hatinya bergetar mendengarkan kata-kata tulus yang keluar dari mulut nelayan tua itu. "Terima kasih, Pak. Saya akan terus berjuang, tidak peduli di mana saya berada."

Hari-hari pengasingan di Ende bukanlah akhir, tetapi justru sebuah awal baru. Dari pengasingan inilah, semangat Soekarno semakin matang dan kokoh. Ia belajar bahwa perjuangan tidak hanya dilakukan dengan senjata, tetapi juga melalui pendidikan, seni, dan tulisan. Pengasingan ini memberinya ruang untuk memperkuat visi merdeka yang nantinya akan membawa Indonesia ke lembaran sejarah baru.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline