Lihat ke Halaman Asli

Bagaimana dengan Sopir?

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh : Zulkarnaini Masry 12 bus besar diparkir rapi, semua jenis kurnia. Beberapa orang sedang membersihkannya, mengelap kaca, menyapu bagasi atau sekedar mengecek mesin. Seorang lelaki berjalan di sisi bus, ia baru saja sarapan di warung kopi sebelah gudang kurnia, di Lamteumen. Setelah menurunkan semua penumpang bus dari Medan di terminal Bathoh, Lueng Bata. Ia membawa bus ke gudang. Di sana bus akan diperiksa ulang, sebelum membawa penumpang lagi dari Banda Aceh ke Medan pada malamnya. Wawancara peu (wawancara tentang apa),?” ia tak keberatan. “Di sini saja.” Ia mengajak duduk di atas becak mesin di bawah pohon ceri. Lelaki itu tak lagi muda, rambut cepak memutih, kumis di potong pendek juga memutih. Berkulit sawo matang. Ia menenteng tas hitam, di dalamnya beberapa potong pakaian. Ibrahim namanya, usia menanjak 57 tahun, tapi tetap energik. Ia salah satu sopir bus yang bekerja di perusahaan kurnia. Pada usia yang kian renta, ia tak mau mengalihkan profesi sebagai sopir bus. Ia masih setia berada di balik kemudi. Menyetir, membawa penumpang ke tujuannya. Secara fisik ia masih cukup kuat menemppuh perjalanan jarak jauh. “Saya masih kuat, mata saya masih terang. Sama seperti anak muda lainnya”. Ujarnya. Memang, membawa bus membutuhkan kondisi tubuh yang prima. Tidur yang cukup, sedikit lengah nyawa penumpang menjadi taruhan. Sedangkan Ibrahim membawa bus sejak usia 23 tahun. Saat itu ia belum berkeluarga. Berawal dari ikut-ikutan sebagai kernet, baru kemudian belajar menjadi sopir satu. Dan kini ia semakin lihai mengemudi bus ukuran besar itu. Menjadi sopir ada tantangan sendiri, terutama sekali harus jauh dengan keluarga berhari-hari. Ibrahim mengaku sudah terbiasa dengan keadaan seperti itu. Dan tak pernah ‘jajan’ diluar. Resikonya sangat besar, salah satu rentan terkena penyakitAIDS/HIV. Walaupun selama ini ada masyarakat yang beranggapan bahwa sopir sering terlibat dalam hal itu. Ia tak membantah. Namun tidak semua. Memang dikalangan masyarakat Aceh, melakukan hubungan sek selain dengan istri yang sah merupakan perbuatan yang sangat nista. Karena dilarang agama. Itu menjadi alasan Ibrahim. “Kalau saya tidak pernah terlibat. Kalau mau kawin lagi saja. Dalam agama kita tidak dilarang kawin lebih dari satu.”. Saat ini Ibrahim memiliki seorang istri, bekerja sebagai pegawai negeri sipil di salah satu dinas Kota Banda Aceh. Mengingat istrinya sebagai abdi negara, sekaligus panutan bagi masyarakat sekitar menjadi alasan tersendiri bagi Ibrahim untuk tidak ‘main belakang’. Ia tipe lelaki setia. Pun begitu ia mengangguk ketika ku tanyakan bagaimana dengan teman-teman yang seprofesi dengannya. Ada memang yang pernah melakukan hubungan intim dengan wanita di luar sana. Tapi ia tak mau menyebutkan siapa orangnya. Tak mudah memang meminta orang untuk mengakui pernah melakukan hubungan intim dengan wanita selain istrinya. Karena mengingat norma agama yang berlaku pada masyarakat Aceh sangat kuat. Dan agama melarang tegas perbuatan itu. Resiko melakukan hubungan sek dengan pasangan berganti-ganti sangat besar. Yaitu bisa terjangkit HIV, lebih parah lagi terkena penyakit AIDS. Siapa saja mengidap penyakit ini maka kekebalan tubuh menjadi lemah. HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu. Penularan dapat terjadi melaluihubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah,jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selamakehamilan, bersalin, atau menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut. Saat ini jumlah sopir Angkutan Kota Antar Provinsi mencapai ratusan. Semua laki-laki. Menurut pengakuan Ibrahim, di perusahaanya bekerja ada tiga jenis angkutan, kurnia, anugerah dan pusaka. Semua lintas Banda Aceh – Medan.Ibrahim biasanya melewati jalan lintas timur. Dari Banda Aceh hingga Tamiang, sedangkan lintas barat via Meulaboh – Tapak Tuan. “Lintas timur tidak ada tempat-tempat maksiat,” katanya. “Sopir bus semua tidak ada. Bukan hanya saya. Yang ada sopir truk, mobil barang, mereka sering singgah di tempat maksiat, tempat mabuk-mabukan.”. Masud Ibrahim, sopir yang bekerja di perusahaan Kurnia. Sedangkan sopir di angkutan umum lain, ia tak tahu. “Walaupun ada, persentase sangat kecil,” ujarnya tanpa mau menyebutkan nama angkutan lain. Ia menegaskan, kalau sopir bus tidak terlibat dalam seks bebas. Bahkan ia mengatakan awak moto geurubak walaupun tidak semua pernah melakukan, sekitar 60 % pernah terlibat. Ia pribadi tak ingin kelalaian sedikit harus menanggung resiko besar. Bayangkan kalau sopir bus mabuk, sedangkan penumpang puluhan di belakang. “Nyawa jadi taruhan,” tandasnya. “Kalau saya jangankan minuman keras, Green Sands saja mabuk.”. ia tertawa, deretan gigi terlihat masih rapi. Khusus pengetahuannya tentang AIDS/HIV sangat minim, ia mengetahui dari orang-orang luar, dari berita-berita di televisi. “Yang saya tahu penyakit itu banyak terjadi di luar negeri, karena mereka sering melakukan sek bebas. Tapi sekarang setahu saya juga sudah masuk ke Indonesia. Mudah-mudahan jangan sampai masuk ke Aceh,” ia kembali menghisap rokok dji sam soe, asap menyembul dari lubang hidungnya. Ibrahim tidak tahu kalau di Aceh juga sudah ada warga yang terjangkit penyakit mematikan ini. Data yang dikeluarkan oleh Komisi Penanggulangan Aids Provinsi Aceh (KPAP) akhir 2010 mencapai 61 kasus. Ada lima berita tentang AIDS di Aceh (3/3-2011), yaitu: (1) 1.627 Warga Aceh Diduga Terjangkit HIV/AIDS (okezone.com), (2) 1.627 Warga Aceh Diduga Terjangkit HIV (suaramerdeka.com), (3) Ribuan Warga Aceh Terjangkit HIV? (vivanews.com), (4) Hubungan Seks Penyebab Utama Penyebaran HIV/AIDS di Aceh (mediaindonesia.com), (5) dan Wagub Aceh, Duh, 1.000 Warga Aceh Terjangkit HIV (kompas.com). Dewi Fahriana, staf KPAP Aceh kepada media mengatakan data di atas masih dalam bentuk perkiraan. “Hingga Desember 2010 estimasi orang yang terkena HIV di Aceh mencapai 1.627 orang. Penyebabnya didominasi melalui hubungan seks atau heteroseks,” ujarnya. Sosialisasi yang dilakukan belum juga sampai ke semua sektor. Bahkan para sopir angkutan belum pernah mendapat pendidikan mengenai HIV. Padahal tak sedikit para laki-laki yang berprofesi sebagai sopir angkutan antar provinsi ini terlibat dalam hubungan seks bebas. Seperti yang dikatakan Ibrahim di atas.  Menyoe kana kiban ta peuget teuma, takoet menular bak ureung laen. (Kalau di Aceh sudah ada mau bilang apa kita. Takutnya menular sama orang lain),” kaget dia mendengar bahwa sudah ada orang Aceh yang positif terjangkit AIDS. Padahal sudah sejak lama ditemukan, bahkan dari tahun ke tahun semakin meningkat. Sejauh ini ia belum pernah mendapat sosialisasi mengenai bahaya sek bebas. Namun ajaran agama telah menjadi ‘pedal’ untuk tidak melakukan hal-hal yang dilarang. Tentu salah satu hubungan seksual selain dengan istri yang sah. “Saya tidak bisa mengingatkan teman-teman yang seprofesi. Karena saya tidak pernah melihat mereka melakukan. Semua jaga dirilah,” begitu pesannya. Menjadi sopir sudah mencapai 30 tahun lebih. Awalnya lelaki ini bekerja di perusahaan ARS (Aceh Raya Sumatra Transport). Saat itu umurnya baru sekitar 23 tahun, usia yang relative muda, ia belum berkeluarga. Saban hari hari ia menghabiskan masa didalam bus, dari Medan ke Jakarta. Butuh dua hari penuh untuk mencapai ke sana. Masa lajang tak membuatnya ‘pendek pikiran’. Ia bisa menahan nafsu, padahal daerah yang dilewati sangat bebas. Sampai lima kali singgah untuk melepas penat. “Lebih kurang 20 tahun saya sudah bekerja di Kurnia,” banyak sudah pengalaman yang ia rasakan. “Ya tidak pernah saya berhenti mencari pekerjaan lain.”. Bukan berarti perjalanannya selalu mulus, ia pernah mengalami kecelakaan. Luka di hidung masih membekas, di pelipis juga. “Ka kaloen jaroe lon (Lihat tangan saya),” ia menjulurkan tangannya. Jari telunjuk tak ada, putus terkena kipas mesin kurnia. Selama sakit ia berhenti sesaat, lantas ketika tangannya sembuh total. Ia kembali gagah di balik kemudi. Memegang setir dengan empat jari, agak janggal memang. Tapi semangat tak juga pudar. *** Pria itu kelihatan tegap, memakai singlet, celana jeans biru langit dilipat selutut. Ia baru saja selesai mengecek truk yang akan ia bawa ke Medan. Lelaki itu adalah Saiful, umurnya 30 tahun, asli Sigli, ini tahun ke dua ia bekerja sebagai sopir truk barang, Banda Aceh – Medan. Dulu ia pernah bekerja di angkutan penumpang jurusan Banda Aceh – Jakarta. “Banyak pahitnya jadi sopir,” ia melempar pandang pada sebuah truk berwarna coklat di depan kami. Tidak ada barang di dalamnya. “Kalau ada barang, baru ada rezeki.”. Satu minggu biasanya ia hanya mendapat satu trep, berarti menghabiskan waktu sampai tiga hari. Tergantung ada tidaknya barang. Dari Banda, kerap mengangkut barang titipan orang dalam jumlah besar. Sedangkan dari Medan mereka khusus mengangkut barang kelontong. “Satu trep paling kami dibayar 500 ribu.”. Namun dalam setiap minggu sekali pasti ada minimal satu trep. Menjalani profesi sebagai sopir berarti kita harus siap menghabiskan hari-hari di jalanan. Yang berat tentu bagi yang sudah berkeluarga. Begitu juga dengan Saiful. Istrinya kini tinggal di Caleue, Sigli. Anaknya baru satu. Ia jarang pulang, menjenguk keluarga. “Kalau pulang dari Medan paling saya singgah 30 menit di rumah,” Ujarnya. Lantas ia kembali melanjutkan perjalanan ke Banda Aceh, membawa barang kelontong. Namun keuangan keluarga tak pernah luput dari perhatiannya. “Saya bekerja untuk istri dan anak saya,” itulah alasan kenapa ia bertahan menjadi sopir. “Saya tidak akan mengkhianati kepercayaan yang diberikan istri,” ujarnya datar. Ia menampik bila ada yang ‘mencap’ mereka kerap melakukan hubungan seks bebas di luar sana, saat jauh dari istri. Bahkan di perusahaan tempat ia bekerja, PT. Mupakat, antara pekerja dengan perusahaan ada perjanjian hitam-putih, bahwa mereka siap dipecat bila kedapatan melakukan perbuatan yang melanggar. “Seperti berjudi dan mabuk-mabukan, kami tanda tangan di atas materai” terangnya. Lantas bagaimana dengan seks? “Kalau itu pribadi masing-masing. Tapi yang bekerja di PT. Mupakat setahu saya tidak ada.”. Bahkan Saiful tidak begitu paham tentang besarnya resiko dari hubungan seks bebas, yang dilakukan tanpa pengaman. Dan ia pribadi belum pernah memeriksa diri ke rumah sakit, guna mengetahui kondisi kesehatan, terutama yang berhubungan seks. “Tidak pernah terlibat, ngapain kita periksa,” ujar pria yang menikah dua tahun lalu. Padahal penyebaran HIV bukan sema-mata karena hubungan seks, tapi banyak lagi. Seperti yang tersebut di atas. Artinya pengetahuan masyarakat, khususnya sopir angkutan terhadap AIDS/HIV masih minim. Perlu usaha lebih keras dari setiap elemen untuk mensosialisasi sampai ke masyarakat kelas bawah. Dan tak mudah memang, meminta setiap individu mengakui pernah melakukan hubungan seks bebas. Apalagi bagi laki-laki dewasa yang sudah berkeluarga. Jawabannya tentu saling percaya. Misalnya, Musniati. Perempuan asal Aceh Utaraini, bersuami sopir angkuatan perusahaan Yamaha. Ia sering ditinggal oleh suaminya, Samsuar, kadang sampai satu minggu penuh. Tugas suaminya mengangkut sepeda motor Yamaha dari Medan ke Aceh. “Kita sebagai istri harus memberikan kepercayaan kepada suami,” kata perempuan kelahiran 1983 ini. Pun begitu ia sering bercanda dengan Samsuar. “Saya 75 % percaya sama abang,” begitu ia sering mencandai lelaki yang menikahinya dua tahun lalu. “Nyang peunteng lon hana ku pubuet sapue. Tugas lon mita peng, keu awak dron, (Yang penting saya tidak macam-macam, tugas saya hanya mencari uang untuk kalian),” ia meniru jawaban suaminya. Walaupun pada dasarnya ia percaya penuh kepada suaminya. Seolah itu menjadi penegasan agar suami tak ‘berbelok’. Ia sadar, profesi suaminya sebagai sopir kerap disematkan negatif. Namun baginya tak semua sopirpernah melakukan hubungan seks dengan perempuan lain saat jauh dari istrinya. Apalagi sampai terkena HIV. Ia sendiri sudah pernah memeriksa diri ke rumah sakit saat mengandung anak pertama, tidak ada penyakit apapun pada dirinya. “Pasca tsunami penyakit ini semakin banyak ditemukan, mungkin ada pengaruh dengan budaya asing yang masuk ke Aceh,” pendapatnya. Informasi ini ia dapatkan dari media masa, terutama televesi. Bukan itu saja. Perkembangan teknologi juga menjadi faktor meningkatnya penderita AIDS/HIV. Menurutnya, banyak orang terutama generasi muda salah memanfaatkan teknologi. Budaya-budaya asing masuk ke Aceh, merusak moral generasi. Ia sendiri belum pernah mengikuti penyuluhan tentang AIDS/HIV, informasi didapat sepotong-sepotong dari media masa. Ia sepakat, bahwa virus kebanyakan tertular dari suami, kepada istri kemudian kepada anak. Namun ia menolak bila sopir angkutan dikatakan semua pernah melakukan hubungan seks dengan perempuan lain selain istri. “Pejabat yang bukan sopir juga tak kurang ke Medan main sama perempuan.” Ujarnya tertawa lebar. Tulisan ini telah dimuat di Tabloid Bungong Edisi Bulan April 2011 Kunjungi http://zulkarnainimasry.blogspot.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline