Lihat ke Halaman Asli

Flash Fiction: "Maafkan Aku..."

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku mendekati pintu apartemennya. Perasaan berkecamuk tak bisa kuhindari. Aku telah berselingkuh dan dia sudah tahu akan perselingkuhan ini dan kami memang telah bertunangan. Aku telah merusak hubungan serius ini dan seribu caci maki siap kuterima dari dirinya.

Aku tak bisa berkutik ketika malam itu seseorang mengajakku kencan. Bagai kerbau yang dicocok hidungnya. Bagai sejuta hipnotis yang berujud panah-panah yang acak menghunus dadaku. Bagai orang-orang bernasib miris yang digiring tentara Nazi memasuki kamp konsentrasi. Aku tak berdaya. Kami telah melakukan yang seharusnya tak kami lakukan. Aku tertelungkup keesokan paginya. Di atas tempat tidurnya. Tanpa sehelai benang pun.

Aku telah menyembunyikan cincin suci ini darinya. Aku tak berdaya ketika itu. Padahal aku tahu. Tunanganku adalah satu satunya orang yang paling kucintai. Dia satu-satunya pria yang tak pernah hilang dari ingatanku. Dia lucu, humoris, baik hati. Dia yang amat mengerti diriku. Dan aku telah mengkhianatinya.

**

Pintu apartemen itu seperti ruangan tempat penyiksaan para narapidana pulau Buru. Aku pasrah jika dia membuka pintu itu, dan langsung meludahi diriku dengan teriakan menyengat seperti "Kamu pelacur murahan!!" atau "Kamu anjing najis!!" atau apapun juga.

Tapi hati ini tak kan mampu mendobrak rasa cinta yang sebenarnya takkan pernah hilang. Aku memang mencintainya meskipun aku juga khilaf telah mengkhianatinya. Aku bagai air selokan meskipun aku sanggup menjadi samudera baginya. Aku mencintainya. Aku mencintainya.

**

Aku mengetuk pintu itu pelan-pelan. Dadaku bergetar. Nyaliku seperti grafik seismograf. Mulutku terkunci dan hanya menunduk yang mungkin bisa kulakukan ketika dia membuka pintu ini. Atau mungkin dia malah tak akan membukakannya untukku??

**

Tiga ketukan. Dan sekitar mungkin tiga detik kemudian, ia membuka pintu apartemennya. Dia keheranan, memandangiku penuh keanehan, mungkin kebencian, dan mungkin ia akan melemparku keluar dari apartemen ini. Atau ia malah akan berbalik dan mengambil pisau untuk ditusukkan kepadaku.

Aku berusaha tenang. Aku mengingat Tuhanku cepat cepat. Hanya Dia yang menolongku. Si manusia laknat ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline