Lihat ke Halaman Asli

Universitas Malakut dan Skrip Silikon Part-5

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Cuap Cuap Dulu

Halo Kompasianers, salam persahabatan dan salam cinta dariku.

Seperti biasa, met puasa bagi yang puasa. Bagi yang tidak puasa, met minum teh aja. Hehe..

Kompasiana memang media yang hebat. Tulisan mengalir dan mengumpul di situs ini dari seluruh penjuru bumi. Berbagai karakter dan tipe manusia tumplek blek. Ada yang cuek, ada yang peduli, ada yang terlalu peduli, dan ada pula yang cuma buang hajat doang di situs ini. Hajat menulis, maksudku. Hehe.. Kalau hajat yang lain, no.. di sungai sono no.. Mumpung airnya deras tuh.. Eh ketahuan nich.. suka buang hajat di sungai.. Gak papalah.. wong buang hajat sambil bawa laptop, ngakses kompasiana.

Dan ada fenomena yang menarik di kompasiana ini. Orang ribut-ribut bicara tentang siapa yang nulis tulisan bagus. Hahaha.. aneh memang. Tulisan yang bagus tuch.. dibaca aja, sobat. Jangan diributin siapa yang nulis. Mau yang nulis genderuwo ngiler, mau yang nulis wewe gombel pilek, mau yang nulis kuntilanak mencret, atau mau yang nulis bidadari yang nggak make beha. Ah.. gak usah diributin!!. Yang penting dinikmati aja tulisannya yang bagus. Ambil manfaat dari tulisan itu. Beres!!

Pak ustad pernah berkata, jangan lihat siapa yang ngomong. Lihat aja apa yang diomongin. Hehe.. Coba break down aja di kompasiana ini. Jangan lihat siapa yang nulis. Lihat aja tulisannya. Kalau kamu suka, baca aja. Ambil manfaatnya. Kalau tidak, jangan dibaca. Sapa aja penulisnya. Hei mas penulis, aku nggak suka tulisanmu lho.. tapi aku suka menyapamu.. karena kita bersahabat. Kan, kita menjalin persahabatan nich.. Hehe.. Sapa tahu pas aku terdampar di kutub utara, ada kompasianer di sana. Nah.. enak, kan? Bisa nolongin sahabatnya ini untuk membuat es sirup. Tinggal dituang sirupnya di halaman rumahnya yang di kutub itu, trus dah jadi deh.. es sirup halaman rumah. Wakaka..

Begini kalau kompasianer suka ngobrol kayak aku ini. Daripada keterusan ngomong yang nggak karuan, mending kulanjutin aja nich cerbung Universitas Malakut dan Skrip Silikon. Selamat menikmati..

Rumah berukuran sedang di kawasan Cilandak menjadi saksi kegusaran hati Ritchie atas keputusan Panalia. Di dalam garasi, Ritchie masih tertegun dan tidak serta merta keluar sebelum ibunya memanggilnya dan membuatkan teh hangat, serta menyuruhnya segera tidur karena paman Norman akan pagi-pagi betul menjenguk mereka esok hari.

Paman Norman yang gendut secara berkala tiba di Jakarta untuk menjenguk ibu Ritchie sambil menenteng tas besar yang berisi contoh-contoh obat-obatan modern karena maklum saja, ia seorang medical representatif yang ulet bekerja. Dan yang paling menyebalkan mungkin saja karena Ritchie sering membuka-buka tas itu dan kadangkala menemukan berpak-pak kondom, yang mungkin saja sample dari perusahaan-perusahaan alat-alat kontrasepsi.

Ritchie duduk di ruang tengah, menikmati hangat teh ibunya dan memandangi potret Profesor Boulzee yang terpampang selalu di ruangan itu, dimana setiap hari ibunya selalu memandangi foto itu, dan ia tidak tahu kemana ayahnya kini. Sang ayah mungkin saja tidak meninggal karena ibunya tidak pernah menceritakan perihal kematiannya, dan ia tidak bisa memaksa ibunya untuk jujur. Sementara ibunya hanya menyuruhnya mendoakan ayahnya yang tetap misterius hingga kini.

Sayang sekali ia harus menghilangkan ingatan-ingatan apa saja, termasuk pikiran-pikiran yang melayang jauh mengenai keberadaan sang ayah, dan yang terlintas di telinganya hanyalah keputusan Panalia. Ritchie seperti orang yang linglung dan sang ibu memperingatkannya dengan kata-kata yang halus.

”Cepatlah rapikan kamarmu dan tidurlah.” kata ibu Ritchie kalem. ”Kelihatannya kamu ngantuk sekali. Tidur dan jaga kesehatanmu.”

Ritchie tidak beranjak dari duduknya, sang ibu masih memandangi anak laki-lakinya dengan tatapan yang berbeda dari biasanya dan mencoba memaksa anak muda itu lekas-lekas menuju kamarnya dengan sebuah berita.

”Banyak paket untukmu. Selvi mengirimimu bunga. Entah apa maksudnya. Tarita mengirimimu sebuah paket tertutup. Ibu tidak berani membukanya. Ada kartu pos dari Jocelyn yang berwarna pink, dan entah ibu lupa dari siapa kiriman-kiriman yang lain tadi. Semuanya ibu kumpulkan di atas ranjangmu.”

Ritchie terhenyak dan pantatnya dengan ringan meninggalkan kursi ruang tengah, berlari menuju kamar dan sedikit terhibur, tetapi sebenarnya ia agak malu dengan trik membohongi cewek-cewek itu dengan hari ulang tahun yang sebenarnya bukan hari ini, atau ia menyebutnya sebagai hari yang bahagia karena di tanggal itu ia diceritakan ibunya sudah bisa berdiri ketika umurnya belum satu tahun, atau hari yang amat penting karena pada tanggal itu ia memenangkan kontes robot yang pertama kalinya saat masih di bangku SMP.

Berserak-serak paket-paket itu hanya ia sisihkan setelah tahu isinya atau mungkin juga maksudnya, dan ia masih saja mengingat kata-kata itu. GUE SUDAH MENGAMBIL KEPUTUSAN. KITA BERSAHABAT SAJA. Mengapa gue sulit melupakan si pirang itu? Mengapa? Mengapa? Baru kali ini gue benar-benar patah. Entah mengapa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline