Lihat ke Halaman Asli

Andai Aku Presiden RI Episode 35 – “Skor 2 - 1”

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Putri Awan memang sahabatku meski ia putri petinggi partai oposisi di negeri ini. Sayangnya, kompetisi politik antara partaiku dan partainya tak pernah berhenti. Setelah partaiku menyelenggarakan perayaan ulang tahun partai yang ke10 bulan kemarin di Gelora Nasional dengan meriah, minggu berikutnya giliran dia memimpin perayaaan yang sama, di tempat yang sama pula. Bahkan, seluruh daerah mendatangkan ribuan kader partainya.

Ketika pengurus teras partaiku mencatat ada sekitar 10 ribu kader yang hadir dalam acara perayaan ulang tahun partaiku, kemarin mass media malah mencatat, perayaan ulang tahun partai Putri Awan dihadiri oleh lebih kurang 20 ribu kadernya dalam acara itu. Benar-benar partai Mr. President dilibas. Skor 2 – 1 untuk Putri Awan.

Aku jadi ingat ketika beberapa waktu yang lalu juga terjadi hal yang mirip. Ketika kami mendirikan posko untuk pelayanan korban gempa dan tanah longsor di Jawa Barat, kami sepakat untuk membuat 1 posko besar yang berfungsi sebagai gudang dan distribusi bantuan. Anehnya, pada saat yang sama, partai Putri Awan malah mendirikan 2 posko yang besar-besar di lokasi bencana. Lagi-lagi skor 2-1 untuk Putri Awan. Selalu aku yang kalah.

Dan kami memang berkompetisi. Tapi kami tetap bersahabat layaknya dua balon yang sedang terbang di gurun sahara. Kami adalah dua balon dan kami saling memperingatkan,”He.. awas.. ada kaktus..!!”.

Untuk itu, Putri Awan tak pernah melupakan untuk meneleponku, meski hanya menanyakan kabarku. Say hello sajalah.

**

”Aku tahu. Aku selalu ingin 2 kali lipat darimu..” ejek Putri Awan kepadaku di telepon genggam.

”Tak masalah. Partaimu lebih dulu ada dibanding partaiku.” jawabku.

”Dua satu.. dua satu.. ” ejeknya lagi.

Kalau sudah begini, aku hanya senyum-senyum sendiri. Dasar anak kecil!!

**

Dan di dalam catatanku maupun catatan Putri Awan, skor 2 -1 tetaplah menjadi hal kecil yang terjadi. Aku ingat ketika aku belum menjadi penghuni istana, aku pernah main catur dengan Putri Awan disela-sela acara kegiatan amal pemuda nasional. Aku ingat saat itu aku juga kalah. Aku menang satu kali, Putri Awan menang 2 kali. Jadi.. juga 2-1.

Iseng-iseng, aku menceritakan ini kepada Natalia. Mengapa terjadi hal-hal kecil seperti ini. Bagiku, ini hanyalah sebuah kebetulan saja. Tapi pendapat Natalia memang lain sekali.

”Itu tandanya.. ada hal-hal krusial.. penting..” kata Natalia.

”Penting apanya?” tanyaku ingin tahu.

”Yaa.. sebuah ketidakcocokan..” jawabnya singkat.

Dasar Natalia! Tendensius sekali jawabannya.

**

Sementara ini, kemenanganku atas Putri Awan hanyalah ketika aku berhasil mendekati dia secara personal, agar partainya tak mengambil posisi berhadap-hadapan ansich dengan partaiku. Tapi tetap saja hitung-hitungan politik ’siapa dapat apa’ menjadi sangat penting. Jika aku dapat 1, sementara dia dapat 2, maka di atas kertas, dia yang menang.

Analoginya bisa macam-macam. Jika partaiku dapat jatah menteri 1, sementara partainya dapat jatah menteri 2, maka dia yang menang. Jika aku mendapat dana partai 1 milyar, sementara dia mendapat jatah dana partai 2 milyar, maka dia yang menang. Jika aku sanggup menarik konstituen 10 juta orang, sementara dia 20 juta orang, maka dia yang menang. Dan seterusnya, dan seterusnya.

Dalam kamus politik, kuantitas bisa jadi merupakan hal yang lebih dominan. Voting dalam musyawarah bisa menjadi contoh. Dari 10 orang yang sedang bermusyawarah, tak penting siapa kesepuluh orang itu. Apakah dia preman, apakah dia profesor, atau apakah dia tukang santet. Yang penting, ketika terjadi voting, jumlah terbanyak yang akan menentukan.

**

Untuk hal-hal seperti ini, aku segera mendatangi guru politikku.

”Politik tidak mengenal siapa kawan dan siapa lawan. Tak ada kawan abadi, dan tak ada lawan abadi. Seorang kawan, bisa jadi bakal dihabisi. Seorang lawan, bisa jadi bakal dicintai. Seorang kawan, bisa jadi akan dimusnahkan. Seorang lawan, bisa menjadi istri simpanan..” kata guru politikku ketika aku menceritakan hal-hal yang mengganjal itu.

”Tapi bagaimana dengan skor 2 – 1 ?” tanyaku serius.

”Anda bodoh, Mr. President!! Strategi politik Anda masih cetek!” bentak guru politikku itu tanpa beban. ”Anda bisa merubah skor itu dengan sebuah kerugian. Bukan keuntungan..”

”Maksud guru??”

”Ubahlah Skor 2 – 1 untuk sebuah kerugian. Lawan Anda rugi 2, dan Anda rugi 1. Maka Anda yang menang..”

**

”Oh.. saya paham. Saya paham, guru.”

”Paham dimananya??”

”Cerita Jin dari Negeri Bolahruwet, kan?”

Guru politikku ngakak.

”Iya. Benar. Berarti kowe wis ngerti, anakku.” kata guruku masih dengan senyum yang lebar.

**

Cerita Jin dari Negeri Bolahruwet bisa menjadi inspirasi Skor 2 – 1. Jika aku ingin menghabisi Putri Awan, aku bisa menggunakan taktik politik yang terinspirasi dari cerita ini.

Hmm.. akan kuceritakan.

Suatu ketika, aku menemukan sebuah botol. Kubuka botol itu, dan keluarlah Jin yang mengaku dari Negeri Bolahruwet. Dengan sangat klise, dia memberiku kesempatan seperti biasanya.

”Akan kukabulkan tiga permintaan. Tapi.. setiap permintaanmu kukabulkan, maka musuhmu akan mendapatkan 2 kali lipat darimu. Kamu bersedia, kan?” tanya sang Jin yang perutnya sebesar gentong. Aku mengangguk, pertanda bersedia.

”Apa permintaan pertamamu..?” tanya Sang Jin yang mulutnya selebar panci.

Aku bersiap menjawab.

”Aku ingin sebuah mobil Toyota Crown Royal Salon 3000 cc, lengkap dengan biaya bensin dan sopir pribadi!!” jawabku.

Sang Jin langsung menjawab,”Oclek.. Ting..”

Dan mobil itupun langsung nongol di garasiku. Tapi.. beberapa saat kemudian Putri Awan meneleponku.

”Hahaha.. Mr. President. Berita buruk untukmu. Di garasiku, sekarang telah nongol 2 mobil Toyota Crown Royal Salon 3000 cc. Bayangkan. 2 Mobil, coy.. ngomong-ngomong.. Anda dapat berapa, Mr. President..?” tanya Putri Awan setengah mengejek.

”Dapat cuma 1..” jawabku.

”Dua satu.. dua satu.. he he..” dia semakin pintar mengejek.

**

“Permintaan kedua, Tuan.. Anda minta apa?” tanya Sang Jin lagi.

Aku bingung. Tapi.. baiklah.

”Aku minta sebuah rumah mewah dengan 20 kamar, masing-masing kamar ada kolam renangnya.. ” pintaku kemudian.

Sang jin langsung menjawab,”Oclek.. Ting..”

”Olalaa..” teriakku ketika ada sebuah rumah besar yang amat mewah telah nongol dihadapanku. Tapi, beberapa saat kemudian, Putri Awan meneleponku.

”Hahahaha.. aku dapat rumah mewah. Dua. Berjejer dengan indahnya..” teriaknya kegirangan. ”Anda kan cuma punya satu rumah mewah saja kan? Dua satu.. dua satu..”

Ejekan Putri Awan semakin membuatku kesal. Dan kalau sudah begini.. sahabat bisa saja akan dihabisi (dalam kamus politik.. bukan dalam kamus besar karangan wjs purwadarminta).

**

”Permintaan terakhir, Tuan..” sapa Tuan Jin lagi kepadaku.

Aku ingin Putri Awan tidak mengejekku lagi setelah permintaan ketiga. Maaf Putri Awan. Ini akan kulakukan. Maaf sekali. Ini pukulan terakhir untukmu. Aku tak akan memperingatkanmu jika ada kaktus.

”Ayo Tuan.. kok malah manyun. Ayo lekas katakan permintaan ketiga Tuan..!” teriak Tuan Jin sekali lagi.

”Oke.. Tuan Jin. Aku punya permintaan terakhir. AMBIL SATU GINJALKU. DAN BUANG KE SAMUDERA HINDIA !” aku berteriak lantang.

”Oclek.. Ting..” teriak Sang Jin dan pergi.

Sepertinya.. memang tak akan ada yang mengejekku lagi. Aku menunggu telepon darinya untuk memastikan apa yang terjadi. Dan sepertinya memang tak ada telepon kecuali minimal sebelumnya ada 3 ginjal di tubuhnya.

[ salam politik praktis ]




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline