Lihat ke Halaman Asli

In Memoriam Indrawadi Tamin: Anjang dalam Kenangan

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Rabu, 24 Juni 2015, duka yang dalam menyelimuti keluarga besar kami. DR. H. Indrawadi Tamin telah pergi untuk selamanya.
Anjang - begitu para ponakan menyapanya - telah mengalami sakit berat 4 bulan terakhir ini, sehingga hari ulang tahun ke-64 pada tanggal 23 februari 2015 yang lalu pun harus dilewati anjang di ICU, dengan berteman mesin bantuan pernapasan, bertarung melawan stroke perdarahan yang menderanya.

Terkenang momen beberapa bulan yang lalu, saat saya hendak mengantarkan almarhum bertemu dokter, untuk mengkonsultasikan suatu kondisi medis yang dialami.

Saya menjemput almarhum di tempat ia sehari-hari mengabdikan diri sebagai pendidik, Universitas Esa Unggul. Perjalanan sore hari yang berjam-jam, dari kawasan Tanjung Duren menuju Kuningan tidaklah menjemukan karena kami mengobrol dan mendiskusikan banyak hal. Ya, anjang adalah teman diskusi yang asik, sekaligus mencerahkan.
Ia bercerita tentang situasi pendidikan di Indonesia, pengalamannya menguji dan berhadapan dengan mahasiswa, dari berbagai jenjang. Lalu berganti saya yang bercerita tentang situasi layanan kesehatan di Indonesia, dan berganti lagi topik diskusi tentang TVRI, di mana anjang bekerja sebagai Dewan Pengawas. Saya bercerita juga tentang studi yang sedang saya jalani, dan keinginan saya untuk juga bisa mencapai jenjang strata pendidikan doktoral, seperti Anjang. Setelah obrolan itu saya amat terinspirasi dan termotivasi akan banyak hal. Itulah yang akan terjadi bila berdiskusi dengan cendekiawan yang berakhlak mulia : terinspirasi. Janganlah membayangkan proses diskusi dengan seorang dosen dan pejabat dengan gaya kaku dan materi diskusi yang berat. Anjang sangat handal dalam berhumor, tidak pernah kehabisan bahan candaan yang sangat cerdas dan menghibur.Benar-benar teman mengobrol yang asik.

Sewaktu saya kecil, Ayah saya sering menyebut anjang sebagai contoh yang patut ditiru. Ayah sering bilang : kamu juga bisa sekolah tinggi, karena kamu turunan doktor, yaitu Anjang. Saya sebenarnya agak mengkritisi pernyataan ayah tersebut karena saya ponakan, garis turunannya kan tidak langsung, bagaimana bisa nyambung. Meskipun begitu saya tetap mengembangkan dan merawat dalam batin ucapan ayah tersebut, hingga kini masih terjaga di benak saya sebagai motivasi, bahwa saya setidaknya punya bekal yaitu 'bakat' punya gelar doktor.

Anjang merupakan sosok paman yang inspiratif, menjadi peletak dasar nilai bagi para keponakannya terutama yang pria. Anjang yang menghantarkan saya sebagai wakil keluarga menemui keluarga calon istri dalam proses lamaran jelang pernikahan saya. Dan, anjang juga merupakan referensi bagi para ponakan perempuannya dalam mencari sosok suami yang cerdas, berpendidikan, intelektual namun hidup bersahaja.

Kini, anjang telah tiada, rasa kehilangan yang kami rasakan begitu dalam. Lebih tak terbayangkan lagi kedukaan yang dirasakan istri, kedua anak, menantu dan keempat cucunya. Betapa besar rasa kehilangan terhadap pahlawan dan idola mereka.

Pasca sahur kami mengiringi kepergian anjang melewati sakratul mautnya. Laa ila ha iilallah. Insyaallah, khusnul khatimah.
Alfatihah, dan seluruh doa yang terucap semoga dapat menjadi obat bagi hati yang terluka karena kehilangan.

Jakarta, 24 Juni 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline