“Single bukanlah status. Ini adalah kata yang menggambarkan seseorang yang cukup kuat untuk hidup dan menikmati hidup tanpa bergantung pada orang lain.”
Menjadi orangtua tunggal bukanlah hal mudah. Sejak realita memaksa seseorang menjadi single mom oleh karena suatu peristiwa yang membuat kita hanya mampu untuk mengikhlaskan pasangan pergi ke hadirat ilahi, semua berubah menjadi perjalanan hidup yang penuh dengan kejutan.
Merawat dan membesarkan tiga buah hati yang masih butuh perhatian seorang sendiri menjadi tantangan yang tidak mudah. Suatu ketika saya dihadapkan pada realita untuk bangkit dan terus berjuang tanpa membiarkan air mata mengalir terlalu lama. Cukup ia mengalir di saat berdoa saja, selebihnya adalah perjuangan nyata untuk mempertahankan hidup.
Sebagai Ayah Sekaligus Ibu
Tidak mudah bagi seorang guru swasta dengan penghasilan tambahan pensiunan janda PNS untuk bertahan hidup di zaman yang serba tidak menentu seperti sekarang ini bersama tiga anak yang “harus” tetap bersekolah.
Orangtua bilang kita harus mampu mengelola keuangan dengan baik sehingga semua kebutuhan dapat terpenuhi. Jujur saja tidak mudah. Bagi saya, menjadi orangtua tunggal sama halnya harus mampu menjadi ayah sekaligus ibu, di mana segala hal ditimbang, diingat, diperhatikan dan diputuskan sendiri. Apalagi anak-anak masih sangat belia, mau tidak mau semua ada dalam kendali kita.
Hidup di Kelas Menengah Cenderung ke Bawah
Relita yang saya alami cukup pahit, namun ada keyakinan bahwa saya bisa melampauinya jika mau berusaha dan tidak menyerah. Saya tidak sendiri, saya yakin di berbagai sudut belahan dunia juga begitu banyak yang senasib bahkan ada banyak yang masih jauh kurang beruntung.
Dahulu semua kebutuhan dapat terpenuhi dengan baik karena saya dan almarhum suami sama-sama bekerja, gaji plus tunjangan anak istri cukup. Rumah terawat, perabot utuh, anak-anak tumbuh sehat bahkan mampu meluangkan waktu untuk jalan-jalan saat liburan tiba.
Kini, saya harus tetap menjalani semua dengan ikhlas dan lurus menatap masa depan meski saat menghadapi masa transisi sangat menguras pikiran juga air mata. Menyiapkan dan mendampingi anak-anak untuk kuat dan bertahan pun perlu perjuangan panjang. Saya hanya terus menyemangati diri, perjalanan masih jauh…
Kondisi seperti ini membuat saya masuk dalam perangkap di kelas menengah yang rentan menjadi miskin, tepatnya jadi cenderung ke bawah. Satu anak dapat bayar SPP, dua anak tunggu dulu demikian seterusnya. Kakaknya bisa bayar UKT, SPP adik-adiknya terpaksa harus jalan di tempat demikian seterusnya. Anak-anak harus tetap bersekolah!
Kepahitan bertambah saat melihat rumah yang ditinggali semakin menua dan rapuh tanpa biasa melakukan perbaikan, perabot dan peralatan elektronik rewel, macet dan kemudian rusak tanpa bisa memperbaharuinya kembali apalagi membeli baru. Nyaris tidak mungkin!