Siang itu mentari tengah terik-teriknya. Saya ingin segera menuju ke pom bensin Dirgantara setelah perjalanan dari Madyopuro karena bar speedometer motor sudah berkedip-kedip.
Setelah memasuki pom bensin dan melewati antri panjang, motor saya seolah melonjak kegirangan dan ia pun melaju lebih ringan.
Saat berhenti di perempatan lampu merah, saya tercenung. Ingatan saya kembali pada cerita almarhum Bapak tentang adanya lapangan udara di kawasan Dirgantara pada masa pendudukan Jepang.
Saya memandang sekeliling lalu berbalik dan berniat mengitari perumahan Dirgantara di samping kiri pom bensin ini. Tak sampai di situ, setelah beberapa saat mengitari kompleks perumahan ini, saya melanjutkan niat mengelilingi perumahan Sawojajar yang terkenal seperti labirin.
Saya mencoba mencari tahu apakah masih ada jejak petunjuk lapangan udara yang tertinggal.
Lapangan Terbang Sundeng
Pada masa pendudukan Jepang, Bapak saya adalah seorang Kaigun (sebutan untuk tentara angkatan laut) dan saat itu tidak bertugas di Malang. Bapak bertugas di Semarang sebagai mualim sebuah kapal perang Kainan Maru dengan kesatuan Akatsuki Butai.
Beliau pernah bercerita bahwa sebenarnya pada masa itu kawasan perumahan Dirgantara dan Sawojajar dekat kawasan kwang san (dulu) ini dijadikan lapangan udara oleh tentara Jepang. Bukan sebagai lapangan udara utama, namun hanya sebagai cadangan.
Bapak menjelaskan bahwa Jepang selalu membuat landasan atau lapangan udara di negeri jajahannya untuk memudahkan akses bagi tentaranya. Bahkan mereka bisa membuat lebih dari dua lapangan udara di dalam satu kota.
Hal ini dimaksudkan jika lapangan udara utama atau kelas satu musnah oleh perang, mereka masih mempunyai cadangan akses untuk melakukan perjalanan melalui udara.