Sumber Gambar: Dokumen pribadi
Nenek bersepatu coklat itu membuka kaca matanya yang basah kena tetesan hujan. Dia berdiri di sudut gedung yang dindingnya sudah memudar catnya, sambil melap kaca matanya. Mata dengan garis-garis senja itu melirik ke arah kiri dan kanan sisi gedung. Pandangannya lepas jauh ke arah koridor sekolah yang digenangi air setinggi tumit orang dewasa..
Sepertinya si nenek sedang kebingungan dan mencari sesuatu. Dia mencoba melangkahkan kakinya dan mencari tempat ketinggian agar terhindar dari genangan air yang akan membasahi sepatu tua berwarna coklat itu. Genangan air yang tidak bisa dilintasi lagi." Tubuhnya mulai gemetar karena menahan rasa dingin. Saya dari tadi mengamati si nenek dibalik tirai kantor yang sudah mulai berdebu. Meskipun berdebu dan terkesan kotor, setidaknya saya masih beruntung karena bisa berlindung dari dinginnya udara luar karena hujan lebat yang tidak berhenti hampir dua jam.
Sinenek mencoba melangkahkan kakinya kembali,namun wajah tua itu mulai terlihat ragu, karena hujan lebat tanpa diundang datang begitu saja bagaikan dicurahkan dari langit. Hujan senja itu sudah menghempaskan banyak duka dan banyak air mata baginya.
Tiba-tiba saya teringat akan sesuatu, kemudian bergegas ke ruangan belakang. Saya membuka lemari tua tempat dimana karyawan menyimpan jas hujan. Dua jas hujan saya ambil dari lemari itu. Segera saya pakai dan yang satunya lagi digulung sambil bergegas ke arah pintu keluar gedung dimana si nenek yang selalu menghempaskan kesedihan lewat tangisan hujan.
Daun pintu itu menjerit-jerit saat saya tarik dengan paksa. Bunyi derit pintu tua itu bagaikan alaram yang memberi signal ke semesta, bahwa pintu itu harus segera diganti. Entah kenapa sampai sekarang, pengelola gedung tidak pernah mau peduli dengan pintu yang setiap waktu menyebabkan kebisingan level tinggi. Bagi sebagian besar karyawan sudah tidak dianggap mengganggu. Karena bagi mereka itu adalah alunan musik yang mengusik rasa kantuk mereka saat bekerja. Kemudian saya melompati genangan air di antara dua gedung itu. Genangan air yang selalu ada saat hujan tiba.
saya melihat mata yang selalu menangis dalam hujan menatap lemah ke arah mata saya. Kegetiran itu membuncah ruah di tengah lebatnya hujan.
"Ups," saya setengah berteriak dan terpeleset di teras yang berkeramik. Syukur ada tiang kokoh yang dapat saya raih untuk menjaga keseimbangan tubuh. Saya menarik nafas sejenak dan memandang ke arah si nenek. Jarak diantara kami sudah dekat, namun genangan air di hadapan kami semakin bertambah tinggi. Kondisi ini yang telah membuat si nenek terperangkap dalam ketidakberdayaan.
Melihat tubuh ringkih yang sudah pucat pasi dan menggigil kedinginan itu membuat dia tak berdaya dengan hujan. KOndisi ini membuat saya sadar akan tugas yang harus saya lakukan. Dalam sekejab, kaos kaki dan sepatu sudah terlepas dari kaki dan saya sisihkan ke tempat yang lebih tinggi.
"Nek...berteduh ke ruangan kantor yuk!" Saya membujuk seperti biasanya saya lakukan setiap si nenek ada di tempat itu. Anggukan lemah itu membuat saya sedikit frustasi dan selalu bertanya-tanya dalam hati, "Bukankah hujan selalu diidentikan dengan romantisme, kesenduan, kesejukan, dan keiklasan? Kenapa bagi si nenek,hujan baginya adalah kegersangan jiwa, dukalara, ketidakiklasan, bencana, dan kehilangan?"
Sesaat sepi tanpa ada jawaban. Bagiku ini pertanda si nenek setuju dengan permintaanku. Di sebelah barat sudah terlihat cerah, di tempat kami berdiripun menyisakan rintik-rintik kecil. Saya bimbing tangan yang menyisakan kulit dibalut tulang. Saya tuntun secara perlahan menerobos genangan air di koridor itu dengan hati-hati. Saya biarkan sepatu coklat itu basah digenangi air. Saya bantu menggulungkan bagian bawah gaunnya yang sudah menyentuh air. Saya pandangi wajah yang dipenuhi gurat senja itu dengan penuh kehangatan. perjalanan menuju kantor hening tanpa suara.
Saya seduh secangkir teh panas untuk menghangatkan tubuh si nenek,meskipun hatinya sudah membeku karena hujan. Perlahan saya buka sepatu coklat itu ,agar nenek tidak kedinginan. Dalam hati selalu bertanya-tanya" Kenapa betah hidup dalam kelam? Kenapa nenek tidak percaya setelah hujan ada pelangi? Bukankah hujan pertanda mendung telah usai?" Bathin ini terasa pedih.