Setiap kali saya membersihkan meja kerja, setiap kali itu juga saya diingatkan akan sosok seorang anak yang pernah menjadi siswa saya.
Meskipun letak meja sudah bergeser dari depan ke belakang, dari samping kiri ke kanan,namun ada satu benda yang tidak pernah saya geser-geser beberapa tahun belakangan ini. Bahkan posisinya tidak pernah tertimpa dengan buku,laptop,dan benda kerja lainnya saat bekerja.
Sebuah gambar tanpa warna di sebuah kertas HVS. Gambar ini punya cerita bermakna selama saya menjadi guru. Gambar ini membuat mind set' saya berubah. Gambar ini juga yang membuat cara pandang saya kepada siswa juga berubah.
Saat itu,sekitar tahun 2013, saya mendapati siswa yang selalu memegang pensil dan posisi menunduk saat belajar di kelas. Setiap saya berjalan mendekati meja, dia selalu menutup buku tulisnya. Hati ini selalu bertanya, ada apa dengan buku tulisnya?
Suatu ketika saat belajar di kelas, siswa diberi latihan menghitung neraca massa. Mereka kerja kelompok. Saya memfasilitasi mereka secara berkelompok untuk menuntaskan dua soal hitungan neraca massa.
Secara diam-diam saya mengamati sosok anak yang pendiam,yang selalu membuat saya penasaran, ada apa sebenarnya di buku tulisnya itu. Saat asik mendampingi siswa belajar berkelompok, saya mendapati anak tersebut tidak aktif berdiskusi,namun sangat sibuk dengan pensilnya.
Saya mencoba memecah konsentrasinya dengan memberikan instruksi,namun dia sama sekali tidak menghiraukan dan tetap fokus dengan aktivitasnya.
Akhirnya secara diam-diam saya berjalan dari arah sisi belakang kelompoknya. Setelah tepat berdiri di belakangnya,saya melihat tangan itu sangat lincah menggoreskan pensil di buku tulis. Begitu lincah tangan itu menggerakkan pensil,sehingga tidak sampai dalam hitungan 1 menit,separuh gambar sudah berbentuk.
Saya terkesima dengan hasil goresan tangan itu. Belum sempat memandang lebih lama, teman satu kelompoknya sudah memberi aba-aba kepada anak tersebut agar melanjutkan diskusi.
Saat dia tahu saya sedang mengamatinya, dengan cepat dia menutup buku tulisnya. Saat itu saya membujuk untuk membukanya. Ternyata setelah dibuka, hampir satu buku tulis sudah dipenuhi dengan banyak gambar yang fantastis. Saat itu saya langsung menyampaikan apresiasi takjub atas kecerdasan yang dimilikinya. Karena saya sendiri sebagai guru sama sekali tidak mampu berkarya seperti dia.