Dalam bermedia sosial, kita menyadari bahwa interaksi hanya bisa diungkapkan secara tekstual (meskipun trend sekarang bisa berinteraksi melalui video live tetap saja intensitasnya tak bisa se-fleksibel tekstual. maka saya menganggap dominasi interaksi di dunia maya sebagian besar secara tekstual). iklim yang terbangun dari media sosial ialah beropini secara publik. siapapun itu bisa berkomentar, dengan preferensi nilai masing masing. penyatuan nilai yang berbeda dan masuknya teknologi baru ini yang menurut saya unik.
belakangan ini saya mengamati bahwa netizen indonesia begitu sensitif pada hal-hal yang berkaitan dengan etika dan nasionalisme di kolom komentar.
secara umum semua pengguna media sosial adalah netizen. maka saya tidak menyebutkan sama sekali spesifikasi dari netizen secara khusus. masyarakat indonesia keseluruhan yang bermedia sosial adalah netizen. akarnya ia berasal dari kata warga (citizen) dan Internet yang artinya "warga internet" (citizen of the net).
melihat interaksi maya, saya merasakan ada sesuatu yang dijunjung bersama. banyak case ketika saya melihat kolom komentar hal utama yang diperhatikan netizen adalah etika. etika di sini mencakup perilaku, pakaian, dan ucapan. kesadaran kecil ini seakan menjadi angin segar pada gelombang kekhawaatiran sejauh mana etika dan kemanusiaan bisa di junjung di Indonesia.
Shakira Amira, peserta class of champion sempat trending dan dihujat netizen pada salah satu rekaman live streamingnya berkata spontan "jangan kaya anak autis deh". sebagai case, netizen mengingatkan dokter perlu menjaga perkataan dan serapahnya.
ketika pertandingan bola jika ada kecurangan yang dilakukan, netizen indonesia siap menyerang beramai ramai boom komentar bahkan beberapa kali ada akun yang hilang karena terlalu banyak spam komentar dari netizen indonesia.
kekuatan netizen indonesia se-powerfull itu, masih ada nilai yang dijunjung sebagai bagian dari iklim bersosial media di Indonesia.
memasuki generasi baru dibarengi dengan teknologi, pastinya ada banyak kekhawatiran. sejauh ingatan kita usia 20-30 tahun, orang tua mengajarkan etika melalui mitos dan dongeng. interaksi dan informasi publik yang terbatas memaksa kreativitas orang tua jaman dulu membuat mitos soal etika.
tapi jangan salah, mitos sebagai alat edukasi nilai melahirkan etika sosial yang dijunjung bersama. satu langkah baik untuk menanamkan dan mengukuhkan nilai-nilai budaya dan kemanusiaan sehingga "tertib" dibiasakan pada anak-anak.
lain hal nya sekarang. kita seakan kehilangan alat efektif. Gita Wirjawan pernah berkata bahwa "teknologi memberikan kemungkinan terciptanya kesalahan-kesalahan lain yang mengancam kemanusiaan jika salah dalam penggunaannya,”
lalu seberapa penting nilai dalam bermasyarakat??