Lihat ke Halaman Asli

Yuyun Srimulyati

Guru, Pelatih Daerah/trainer PPKB Kemenag RI bidang profesional 2 (Publikasi Ilmiyah), pegiat literasi, public relation

Melukis Kesabaran di Atas Kanvas Waktu

Diperbarui: 30 Agustus 2024   20:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tak seperti biasanya wajah yang selalu ceria terlihat murung dan lesu. Sri melihat gelagat yang tak biasa terjadi pada suaminya yang seorang da'i dan wirausaha. Sri kira hanya masuk angin biasa, tapi setelah satu pekan sakit suaminya tak kunjung pulih. Akhirnya Sri mengantarnya ke dokter. 

Setelah menjalani tes darah ternyata trombositnya hanya 91000, di bawah batas normal 150000-450000/mm3 dan disarankan untuk diinfus. Setelah obat didapatkan akhirnya menuju puskesmas terdekat dengan harapan bisa dirawat di tempat terdekat ternyata karena keterbatasan alat dan kondisi pasien urgen maka dirujuklah ke RSUD di kabupaten yang jaraknya sejauh 1 jam perjalanan dengan mobil. 

Sesampainya di Instalasi Gawat Darurat kondisi semakin memburuk, dengan sigap para petugas memasang alat-alat medis yang diperlukan karena denyut nadinya pun tidak terdeteksi. Shock karena dehidrasi membutuhkan asupan cairan tubuh dengan capasitas banyak.

Menit demi menit terasa berlarut, jam demi jam terasa seperti hari. Ruang tunggu yang semula terasa nyaman, perlahan berubah menjadi sangkar yang membatasi kebebasan. Deretan kursi yang terisi penuh oleh wajah-wajah yang berbeda, masing-masing menyimpan cerita dan penderitaan tersendiri. 

Ada yang terlihat cemas, ada yang pasrah, dan ada pula yang berusaha tegar. Di tengah hiruk pikuk suara obrolan dan tangisan bayi, kesabaran mulai menipis. Rasa jenuh yang awalnya sekadar benih, kini tumbuh subur menjadi semak belukar yang sulit dicabut.Tubuh terasa lelah, mata mulai sayu, dan punggung terasa kaku. Posisi duduk yang sama dalam waktu yang lama membuat anggota badan terasa mati rasa. 

Pikiran pun ikut melayang, membayangkan berbagai skenario yang mungkin terjadi. Kecemasan mulai menggerogoti hati, apalagi melihat beragam kondisi pasien yang datang silih berganti. Ada yang terbaring lemah di kursi roda, ada yang dipapah oleh orang terdekat, dan ada pula yang terlihat kesakitan. Pemandangan tersebut tak ayal membuat hati ikut terenyuh dan merasa tidak berdaya.

Hari demi hari, rutinitas yang sama terulang. Ruang tunggu yang menjadi saksi bisu dari beragam kisah hidup. Wajah-wajah yang datang dan pergi, silih berganti. Ada yang datang dengan harapan, ada pula yang pulang dengan membawa kesedihan. 

Sebagai salah satu dari mereka yang berada di posisi penunggu, tentu saja Sri  memahami bahwa kesabaran adalah kunci. Namun, tak jarang rasa jenuh dan lelah menyergap. Melihat penderitaan orang lain dalam waktu yang lama, secara tidak langsung juga membebani pikiran dan emosi.

Jarum jam merayap lambat, mengukir garis-garis sunyi di dinding putih. Ruang tunggu ini, saksi bisu dari ribuan cerita yang terpendam. Ada haru, ada duka, ada pula kecemasan yang terpancar dari setiap wajah yang menanti. Tiba-tiba, panggilan nama suaminya membuyarkan lamunan. Sri bangkit dari kursi, melangkah dengan gontai karena kelelahan menuju ruang periksa.

Seorang dokter menyapa dengan nada ramah dan familiar. "Bapak boleh pulang hari ini". Di luar jendela, langit berubah warna dari biru cerah menjadi jingga kemerahan. Matahari perlahan tenggelam membawa serta harapan-harapan yang tertunda selama bedrest. Badai telah berlalu dan bersambut bintang malam ini menemani kepulangannya dari rumah sakit dengan segenap syukur.

Dalam setiap detik yang terasa begitu panjang Sri belajar banyak hal. Tentang kesabaran, tentang empati, tentang arti hidup dan kematian. Dia  belajar bahwa di balik setiap wajah yang tampak biasa saja, tersimpan sejuta mimpi dan harapan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline