Lihat ke Halaman Asli

Berpikir Terbuka terhadap yang Tertutup

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

”Lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”, demikian pribahasa yang tentu akrab di telinga kita. Setiap orang terlahir berbeda, bahkan kembar identik pun pasti punya perbedaan. Di dunia fana yang kini merambah dunia maya sehari-harinya tak melepaskan kita dari situasi yang menuntut kita untuk memilih dari yang beragam. Jika masing-masing pihak bersikukuh tak ayal akan muncul perdebatan, dari yang kadarnya sekedar silat lidah hingga hard core.

Mengucapkan ”Selamat Natal” kepada yang merayakan bagi umat muslim: boleh atau tidak? Perdebatan yang jadi ajang tahunan ini seakan tak berujung. Bagi yang membolehkan, ini adalah wujud toleransi – sederhana, tanpa perlu merubah keyakinan. Sebaliknya, ini menjadi hal yang sangat bertentangan dengan hakikat Islam bila merujuk pada Al Quran dan Hadits. Bila kita lihat dari sisi netral, keduanya sangatlah masuk akal dan bila diperdebatkan mungkin bisa menghabiskan beberapa musim X Factor.

Pastinya perbedaan harus dihargai, perdebatan harus disikapi, dan kesepakatan harus jadi tujuan, termasuk sepakat untuk tidak sepakat. Untuk itu butuh mentalitas berpikiran terbuka atau open minded, kalo menurut bahasa kromo inggil. Banyak orang yang mengaku open minded, karena punya banyak teman dari berbagai suku bangsa, agama, dan berbagai latar belakang atau karena sudah menjelajahi banyak tempat di belahan dunia. Bisa jadi. Kalau menurut saya, seseorang bisa mengaku open minded apabila dia sudah bisa memposisikan diri sebagai pihak netral.

Lalu jika sudah netral, berarti sama saja tidak punya prinsip? Bukan begitu juga. Berdiri di satu kubu bukan berarti tidak open minded asalkan tetap mempertimbangkan sudut pandang yang berseberangan. Memposisikan diri sebagai pihak lain, apa yang mereka rasakan, apa yang menyebabkan mereka berpegang teguh. Setelah itu barulah kita bisa menilai apakah perlu usaha untuk mengajak mereka mengikuti pendapat kita atau membiarkan perbedaan itu dengan damai.

Kembali ke debat ucapan selamat Natal, seorang yang open minded boleh jadi memilih untuk mengucapkan selamat Natal namun dia juga tetap menghargai bahwa yang kontra punya keterbatasan yang harus dihormati. Sikap seperti ini lambat laun akan membuat seseorang tumbuh menjadi lebih bijaksana dan membumi. Tak hanya itu, pihak lawan pun akan menjadi lebih segan karena pada prinsipnya manusia suka dihargai. Nah, bila sudah seperti ini mestinya perbedaan pendapat akan berujung pada situasi kondusif.

Jadi, sah saja kan kan kalau saya bilang pribahasa di awal tadi saya dapat dari kelas Tata Boga? (Yuuki)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline