Lihat ke Halaman Asli

Yutta Sihing Gusti

Mahasiswa Strata I Ilmu Komunikasi UPN Veteran Yogyakarta konsentrasi Media dan Jurnalistik

Warung Tegal Tidak Begitu Istimewa di Mata Mahasiswa Asli Yogyakarta

Diperbarui: 2 Oktober 2024   17:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Potret depan Warteg Kharisma Bahari yang mulai bermunculan di setiap sudut jalan Yogyakarta (sumber : finance.detik.com)

Saat malam hari seusai kerja kelompok, saya dan tiga teman saya merasa lapar dan ingin makan malam sebagai penutup hari. Layaknya wanita yang bingung ketika ditanya mau makan apa, kami pun kebingungan mencari tempat makan apa di tengah malam begini. Salah satu dari kami pun menyarankan untuk makan di warteg (warung tegal) dengan alasan buka 24 jam. Selain itu, akan lebih baik bila perut kena nasi sebelum beranjak tidur. Kami bertiga pun mengiyakan dan mulai berangkat menuju warteg di dekat Selokan Mataram.

Sesampainya di warteg tersebut, kami pun makan seperti biasanya. Seusai makan, kami merokok dan bersenda gurau sembari menunggu makanan turun. Dalam obrolan hangat tersebut, teman saya, sebut saja Denny, mengatakan bahwa dirinya pertama kali makan di warteg. Sontak saya pun terkejut, "Kok ada orang baru pertama kali makan warteg!"

Kebetulan Denny merupakan warga asal Cebongan, Yogyakarta. Bagi saya yang seorang perantau, makan warteg adalah opsi makanan yang paling lumrah sekaligus murah. Celetukan Denny tadi memberi saya respon yang cukup mengagetkan dan membuat penasaran.

Sebelumnya, kita harus menyamakan konsep mengenai warteg itu sendiri. Warteg yang saya maksud adalah sebuah tempat makan yang meyediakan makanan, baik sayur dan lauk yang secara merek dagang bersifat franchise. Beberapa franchise warteg antara lain, Warteg Kharisma Bahari, Warteg Paradise Bahari, Warteg New Bahari, dll.

Biasanya secara tempat, ada beberapa kesamaan yang bisa dilihat kasat mata, seperti dominasi warna putih dan sedikit warna aksen pada bangunan warteg. Selain itu, beberapa franchise warteg memiliki kesamaan dalam memberikan promo kepada konsumen, seperti gratis es teh, serba 12 ribu, dan potongan 2 ribu bagi ojol. Beberapa lauk pauk pun biasa disusun di meja etalase yang dapat dipilih lewat fitur touchscreen. Walaupun suatu rumah makan menjual makanan persis seperti warteg, tidak bisa kita samakan dahulu pada tulisan ini.

Kembali kepada kebimbangan saya yang mendalam perihal kebiasaan kok ada orang baru pertama kali makan warteg, saya kembali menanyakan pengalaman Denny seputar warteg. Mahasiswa asal Cebongan tersebut mengatakan, bahwa sejak kecil tidak pernah ada warteg buka di dekat rumahnya. Paling-paling nasi padang dan warmindo (warung makan indomie) yang menjamur di daerah pesisir Yogyakarta tersebut.

Fenomena menjamurnya warteg di kota Yogyakarta juga baru ia rasakan dalam beberapa tahun terakhir. Anehnya Denny malah memberikan sanggahan atas rasa penasaran saya. Ia malah mengatakan kok ada orang makan di warteg, padahal makanan yang dijual pun bisa dimasak di rumah.

Bukannya saya brand ambassador warteg yang akan menyagah isu negatif terhadap eksistensi warteg, namun warteg bagi saya seperti tempat yang diciptakan Tuhan saat Ia sedang lapar. Jadi rasanya aneh ketika ada orang yang selama hidupnya belum pernah makan di warteg.

Beberapa teman dekat saya yang asal Yogyakarta pun banyak yang belum pernah mencicipi hidangan warteg, Reyvi salah satunya. Mahasiswa asal Kasihan tersebut baru 2 kali merasakan hidangan warteg, itupun baru ia coba tatkala menjadi seorang mahasiswa. 1 diantaranya pun atas usulan saya.

Warmindo dan Padang Lebih Seksi Ketimbang Warteg

Potret Warmindo Jogja Jogja dan menu utama yang dihidangkan (Sumber : jogjaaja.com)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline