Lihat ke Halaman Asli

Yuswanto Raider

Saya seorang guru dan penulis lepas yang lahir di Surabaya pada 14 Februari 1974. Sejak tahun 2005 saya tinggal di Desa Kembangsri Kecamatan Ngoro Kabupaten Mojokerto

Diujung Penaku

Diperbarui: 8 Januari 2024   00:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

MERDEKABELAJAR: Diantara guru sebagai pendidik anak bangsa, tentu ada penyesalan bila lengah atas tanggungjawab sosialnya. (Sumber Foto/Ilustrasi : Yuswanto Raider)

Jam dinding berdentang satu kali. Pertanda waktu sudah dini hari. Nyatanya Aku belum bisa rebahkan diri untuk tidur. Terlalu berat beban yang terpikir di otak ini. Ya, berpikir tentang sikap apa yang harus Aku lakukan pagi nanti.

Tanganku masih memegang erat sebuah pena hitam. Sedari tadi hanya Aku pakai mencorat-coret kertas HVS. Sesekali Aku menggambar wajah. Sesekali Aku hanya membuat garis-garis yang saling terhubung. Tapi tak terhenti pula saat Aku membuat goresan ujung pena dengan garis-garis yang tak beraturan. Seperti rumitnya masalah yang tengah Aku pikirkan.

Seingatku, sudah lebih dua jam Aku terpaku. Memegang sebuah pena dan menggoreskan ujungnya diantara kertas putih berlembar-lembar. Sepertinya otak ini enggan berpikir. Selaras dengan hati yang penuh beban lagi kalut.

"Mengapa mereka munafik lagi buta hati?" tulisku sekalimat yang masih tampak di atas kertas. Rasa tanya lagi penasaran itu, menguap begitu saja dibenakku. Ya, Aku merasakan sebuah kepedihan atas sikap, ucapan, dan perilaku orang-orang ditempat kerja Ku.

Sekarang kucoba mengingat sebuah kejadian dalam seminggu ini. Kugali dengan mudah daya ingatku atas sebuah peristiwa ditempat kerja. Senyuman orang-orang disekitarku, tak lebih dari sikap kepura-puraan. Senyum mereka hambar. Pandangan mata mereka penuh kecurigaan dan cenderung berbentuk hinaan.

Aku tidak tahu apa yang ada dipikiran mereka. Aku hanya tahu, bila celotehan Ku beberapa hari ini, dinilai mengganggu kenyamanan mereka. Padahal, sudah cukup bukti untuk dijadikan renungan akan sebuah kesalahan. Tapi nyatanya mereka biasa-biasa saja dan bahkan menilai Ku sebagai seorang perusuh ditempat kerja.

Sejenak kutajamkan pandangan pada hiasan dinding kamar. Tertempel sebuah pigora dengan hiasan artistik seperti profesiku. Tertulis jelas dalam pigora sebuah kata pujian dan doa. "Selamat Hari Guru dan Semoga Menjadi Guru Sejati Bagi Kami Anak-Anak Didik Anda!"

Satu kalimat yang berat dan besar maknanya. Itu pun bila seseorang mampu menafsirkan susunan kata-katanya. Ditambah lagi nilai filosofis dalam peringatan Hari Guru. Seperti tersengat lebah madu, seketika pikiran dan hati Ku pun tersambung. Sinyalnya bagus dan akhirnya mampu menggerakkan pena yang kupegang.

"Mengapa Aku harus menjadi guru?"

"Apa yang ingin Aku temukan saat jadi guru?"

"Bagaimana bila Aku tak mampu mendidik anak-anak didik Ku?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline