Lihat ke Halaman Asli

Kejatuhan Bulan

Diperbarui: 13 Mei 2017   03:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah hampir habis satelit itu, serpihan badannya jatuh menghujani bumi karena gaya gravitasi, terlihat seperti bara api raksasa. Dia tidak akan lagi  menjadi simbol keromantisan. Bulan, akhirnya tamat juga riwayatmu, hancur setelah dihantam "asteroid Apophis". Sudah sepekan kekelaman menyelimuti bumi, kekacauan dimana-mana, bahan makanan semakin sulit didapat, listrik sudah mati total dari tiga hari yang lalu, banyak tubuh kaku bergelimpangan di jalan-jalan, manusia menggila, mereka saling membunuh hanya untuk memperebutkan jatah tempat evakuasi yang harganya selangit.

Tidak semua orang akan diselamatkan, sebab pesawat evakuasi jumlahnya sangat terbatas. Proses evakuasi berkejaran dengan waktu, sampai bulan menghantam bumi, diperkirakan air samudra akan kering dalam beberapa minggu ke depan setelah hantaman terjadi, dan makhluk hidup yang tertinggal akan ikut musnah. Mungkin setelah kehancuran bumi, manusia akan mengembara itu semesta, namun sejauh ini planet mars menjadi alternatif terbaik mengingat cadangan bahan bakar dan makanan hanya cukup untuk perjalanan jarak dekat. Memang selama beberapa dekade ini manusia telah membangun tempat tinggal disana, untuk mengantisipasi kiamat hari ini.

Pesawat-pesawat itu terus lalu lalang, datang dan pergi dengan kecepatan super, namun masih jauh dari kecepatan cahaya, teknologi ini masih dikembangkan. Saat ini untuk mencapai planet mars, pesawat luar angkasa itu hanya membutuhkan waktu dua hari untuk pulang pergi. Aku tidak mau ambil pusing dengan keadaan yang ada, kekhawatiran mereka akan kematian, membuat manusia rela melakukan segala cara supaya terhindar dari maut. Aku tidak mau ikut mengemis untuk hidupku, ini sudah takdirku. Tiket untuk evakuasi sangatlah mahal, tidak ada yang dapat aku tukar untuk membeli selembar tiket. Ya..memang benar jika orang kaya dapat membeli nyawa dari uang mereka, setidaknya untuk hari ini.

Terasa tanah yang aku pijak ini bergetar, gempa ini diakibatkan dari resonansi gravitasi bumi dan bulan yang semakin mendekat. Lalu aku merebahkan diri di tanah pekuburan, aku sudah sejak kemarin berada ditempat ini, sembari menyaksikan ajal bumi. Ini tanah pemakaman tempat keluargaku telah aku kuburkan, mereka tidak selamat setelah benturan pertama terjadi yang menyebabkan gempa dahsyat sehingga menghancurkan rumah kami, hanya aku yang selamat. Kemudian satu liang ini aku buat untuk diriku sendiri, saat ini aku berada di liang itu. Kemudian terdengar suara ledakan begitu keras menggema di angkasa. Ini sudah saatnya, dengan pasrah aku memejamkan mata, terasa tubuhku seperti berada di wahana "roller coaster", gelap...

"Pa..bangun..pa..." aku mendengar suara anak kecil memanggilku, sambil mengguncang-guncangkan tubuhku, kemudian aku membuka mata pelan-pelan, menunggu kejutan yang mungkin saja ada disaat pasrah. Owh..itu Amel putri ku satu-satunya, aku langsung peluk dia erat, dan disana tampak pula istriku tersenyum manis, berdiri anggun dengan gaun putih bersih berkilauan batu permata, seperti bidadari. Aku merasa begitu bahagia, mereka yang kemarin aku semayamkan, dan saat ini aku telah bersama mereka kembali, mungkin bukan di bumi ataupun di planet mars. Entahlah apa namanya tempat ini, yang pasti aku sampai ditempat ini dengan tanpa biaya sepeserpun , aku tidak perlu mengemis untuk sampai di tempat ini, cukup hanya memejamkan mata dan pasrah..ya pasrah dengan takdir hidupku, kematian adalah hadiah yang paling indah yang aku terima selama aku hidup di bumi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline