Tanpa celana dan baju atasan, Warto berlarian di sepanjang pematang sawah sambil menyunggi kardus bekas mi instan, dia hanya mengenakan sarung dan kaos oblong. Dia melakukan itu karena, dari hasil konsultasinya dengan orang pintar di desanya, jika Warto ingin hasil panen cabai nya melimpah dia harus menyunggi kardus bekas mi instan berkeliling sawahnya dari mulai subuh selama dua jam setiap hari, sebelum sarapan pagi selama tiga belas hari berturut-turut. Orang pintar ini memang terkenal di antero RT-RW di kampung tempat tinggal Warto. Biasanya orang pintar ini menimba ilmu di sendang, yang berada didalam hutan setiap malam jum'at kliwon.
Sebentar lagi ramadan dan pasti harga kebutuhan bahan pokok akan meningkat, termasuk harga cabai. Inilah yang memotivasi Warto untuk menjadi petani cabai dadakan. Uang dari hasil dia menjual kerbau dia pakai untuk membeli benih cabai, alhasil dua hektare sawahnya saat ini rimbun dengan pohon cabai, Warto memperkirakan sebelum ramadan cabai-cabai itu sudah siap di panen. Dan berharap hasilnya dapat di gunakan untuk membeli beberapa ekor kerbau lagi.
Setelah selesai ritual, Warto pun duduk di pematang sawah sambil menikmati bekal yang dibawanya dari rumah, berupa nasi bandeng sambal terasi. Ini sudah hari yang ke dua belas, tinggal satu hari untuk menyelesaikan ritualnya. Sambil sarapan Warto pun membayangkan pohon-pohon cabainya menari-nari melambaikan cabai-cabai merah besar kualitas super. Pengepul datang membawa sekarung uang untuk membeli hasil panenannya, terlihat truk si pengepul sempoyongan mengangkut hasil panenan. Dan tidak terasa rantangnya sudah kosong, Warto menepuk-nepuk perutnya yang sudah terlihat berisi. Lalu dia buru-buru berkemas untuk pulang ke rumah, sebab di kejauhan awan mendung pekat terlihat menandakan akan ada hujan lebat.
Benar saja, baru Warto beranjak sepelemparan batu jauhnya, hujan lebat sudah mengguyur, sangat lebat, sampai Warto kepayahan berjalan menyusuri pematang. Dia lantas berlindung di sebuah gubuk di tengah sawah, nampak awan mulai membentuk spiral, pertemuan antara udara dingin dan panas ini membuat sebuah kekuatan angin puting beliung. Angin ini memporak porandakan segala apa yang dilewatinya termasuk dua hektar sawah milik Warto yang rimbun dengan pohon cabai itu.
Warto beranjak dari gubuk itu dan berlari sekencang mungkin untuk dapat selamat dari angin puting beliung yang mengamuk. Dia berlari menuju hutan, dan ditengah pelariannya dia menemukan sebuah gua, dan tanpa pikir panjang Warto pun masuk ke gua itu untuk berlindung. Angin badai menyapu hutan dan perkampungan, kejadian itu berlangsung selama beberapa menit. Lalu berangsur keadaan mulai hening dengan berlalunya angin badai tadi. Dengan tertatih-tatih Warto berjalan keluar dari gua dan mendapati pohon-pohon dihutan tumbang, dan dari kejauhan terlihat desa nya hancur tidak ada lagi rumah yang berdiri, Warto hanya tertegun melihat semua itu.
Dua belas hari dia ritual menyunggi kardus bekas mi instan, padahal tinggal menjalani ritual satu hari lagi, dan dalam beberapa menit saja impian untuk panen raya hilang di sapu badai. Memang badai pasti berlalu, namun kenangan pahit Warto hari itu tidak akan berlalu semudah badai berlalu.
Yusuf Y.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H