Kalimat “pinjem dulu seratus” sedang hangat beredar di media sosial akhir-akhir ini. Bukan tanpa sebab, karena candaan tersebut dirasa relate oleh mayoritas netizen indonesia. Mengapa sekedar aktivitas meminjam uang bisa menjadi booming? Pasalnya seringkali kebanyakan dari pihak peminjam atau penghutang lalai dalam melunasi hutangnya hingga membuat pemberi pinjaman kesal. Jika sekedar menunda pembayaran mungkin masih bisa ditolerasi, namun terkadang peminjam tidak mau mebayar hutang sama sekali dan kabur dengan cara memutus hubungan dengan pihak yang meminjamkan uang. Hal tersebut menunjukkan bahwa hutang bisa mengakibatkan terputusnya tali silaturahmi antar sesama.
Berhutang sebenarnya sah-sah saja terutama jika memiliki kebutuhan mendesak atau kebutuhan yang bersifat pokok. Namun usahakan berhutang bukan untuk kebutuhan konsumtif belaka. Ketika hendak berhutang, pastikan untuk memperkirakan bahwa kita mampu melunasi hutang tersebut secepat mungkin. Alangkah baiknya kita menjelaskan kapan kita mampu melakukan pelunasan hutang atau jatuh tempo kepada orang yang berkenan meminjamkan uangnya.
Transaksi hutang akan lebih meyakinkan jika dilakukan dengan adanya bukti tertulis dan disertai saksi. Hal tersebut demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti penghutang tidak mengakui hutang atau lupa atas hutangnya sehingga dapat berakibat gagalnya pelunasan hutang.
Saat berhutang, niatkalah dalam hati untuk segera membayarnya. Jika tidak demikian, terkadang seseorang akan melalaikannya dan menunda-nunda pelunasan hutang hingga terbesit godaan untuk tidak melunasi hutang. Sebagaimana yang disampaikan Rasulullah dalam hadits riwayat Ahmad no. 8378 yang berbunyi:
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّاهَا اللَّهُ عَنْهُ وَمَنْ أَخَذَهَا يُرِيدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
Bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda, "Barang siapa mengambil harta (meminjam) orang lain dengan maksud membayarnya kembali maka Allah akan membayarkan untuknya, dan barang siapa mengambil (meminjam) dengan maksud merusaknya (tidak membayarnya) maka Allah 'Azza wa Jalla akan merusaknya."
Dalam hadis tersebut, Rasul bersabda bahwa jika seseorang yang berhutang dengan niat membayarnya, maka akan dimudahkan oleh Allah dalam pelunasan hutangnya. Sebaliknya, jika tidak memiliki niatan utnuk membayar ketika berhutang, maka Allah akan merusaknya. Merusak disini bisa dipahami bahwa penghutang akan terkena kesulitan dan kesengsaraan terhadap hutangnya hingga benar-benar tidak mampu membayar hutangnya.
Menyegerakan pembayaran hutang sangatlah dianjurkan, terutama jika penghutang sudah memiliki uang lebih dan cukup untuk melakukan pelunasan. Jangan sampai kita beranggapan bahwa kita tidak memiliki uang untuk membayar hutang, padahal sudah mampu membeli kebutuhan-kebutuhan sekunder dan bersifat konsumtif. Rasulullah telah mengingatkan terkait hal tersebut dalam hadits riwayat Ahmad no. 9594 yang berbunyi:
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ وَمَنْ أُحِيلَ عَلَى مَلِيءٍ فَلْيَحْتَلْ
Rasulullah ﷺ bersabda, "Menunda-nundanya orang kaya dalam membayar utang adalah kezaliman, dan barang siapa dibebaskan utangnya oleh orang lain hendaklah diterima."
Hadis diatas juga berisi tentang diperbolehkannya mengikhlaskan atau membebaskan hutang oleh yang meminjamkan kepada si penghutang. Hal tersebut akan terhitung sebagai sodakoh. Jika belum mampu mengikhlaskan, maka alangkah baiknya jika memberi kelonggaran waktu pembayaran. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 280 yang berbunyi: