Anarkis jelas anarkis. Betapa Ade Armando harus bonyok karena hujan bogem dari oknum demonstrasi 11 April. Spekulasi sebab-akibat pun bermunculan. Banyak yang menghujat kejadian itu, banyak juga yang merasa terwakili akibatnya.
Disesali, tapi sudah terjadi. Kerumunan atau massa adalah pemilik emosi yang tak terkendali. Aparat keamanan yang diharapkan bisa mengendalikan emosi massa demonstran nyatanya kecolongan. Yang tersisa adalah korban Ade Armando dan pelaku penganiayaan yang segera dicari polisi.
Publik sadar politik mengenal Ade Armando adalah seorang penggiat sosial media aktif yang berlatar-belakang pakar komunikasi, dosen bergelar Doktor dari Universitas Indonesia dan pengamat sosial-politik. Dia rajin berkoar di sosmed dengan ucapan dan tulisan yang kontroversial diantara yang wajar.
Kontroversi Ade Armando muncul karena dia sering menghajar cara berpikir lawan politik penguasa dan bukan pendukung Presiden. Dia juga sering menyindir umat Islam tradisional dan puritan lewat logika berpikirnya yang ia yakini ilmiah. Hingga akhirnya publik yang dia sasar melabelkan Ade Armando adalah "buzzer" dan "Islamphobia". Padahal dia orang Minang yang Islam.
Ade Armando bukan tokoh sembarangan. Dia cendikiawan, intelektual, akademisi, peniliti, pengamat dan mantan wartawan. Keilmuannya tak diragukan karena suka bicara dengan menyertakan data. Orang yang kurang wawasan dan keilmuan akan melintir jika berdebat dan perang opini dengan Ade Armando.
Cuitan dan ucapan Ade Armando terhadap lawan politik penguasa dan lawan bepikirnya bukan tidak ada benarnya. Apalagi yang menggunakan data ilmiah keilmuannya. Banyak yang membenarkan dan menyetujui, diantara yang menolak dan diam.
Namun ilmu tinggalah ilmu jika tidak didudukan secara jujur dan bijaksana. Kadang Ade Armando lupa, yang dia tantang juga punya ilmu. Punya kekuatan berpikir dan bertindak. Punya konsep nilai kejujuran dan keyakinan tersendiri yang perlu dihormati dan diwaspadai juga.
Kejadian penganiayaan dan penelanjangan Ade Armando di arena demonstrasi 11 April, itu anarkis dan tidak dibenarkan dalam alam demokrasi. Kejadian tersebut harus menjadi peringatan kepada siapapun.
Bagi para pemikir, pengamat, intelektual dan cendikiawan yang suka berpendapat di sosial media dan platform media lainnya, pun harus sadar. Jangan melampaui batas dalam berpendapat dan berucap walau didasari keilmuan dan data yang dikuasai.
"Seorang intelektual adalah orang yang pikirannya menjaga pikirannya sendiri", kata Albert Camus.
Pikiran yang menghormati pikiran orang lain juga. Jangan sampai kehormatan ilmu yang dimiliki tiba-tiba "runtuh" oleh hujan bogem dari mereka yang tidak suka buah pikiran sang intelektual selama ini.