Lihat ke Halaman Asli

Aku Juga Mencintai Tuhanku

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sudah malam. Masih seperti malam-malam sebelumnya. Sepi. Angin malam berhembus masuk lewat pintu yang belum ditutup itu. Raka masih terjagawaktu itu. Ponselku berdering, ternyata Dwita, teman perempuanku menelpon. Tidak biasanya Dwita menelponku, apalagi waktu itu malam-malam pukul 22.00. Dengan nada yang tersedu-sedu Dwita menceritakan maksud dia menelponku. Dwita baru saja diputus oleh kekasihnya, Gilang.

“ada apa, Dwita?”

“Maaf mengganggumu malam-malam, aku tidak punya teman, Gilang baru saja mengakhiri hubunganku dengannya” dengan nada yang terbata-bata.

Aku sedikit terkejut mendengar hal tersebut, pasalnya aku tahu betul Dwita sering terlihat akur dengan Gilang. Walaupun aku sendiri tidak begitu mengenal Gilang. Aku dan Dwita berbicara panjang lebar lewat telepon waktu itu. Hingga pukul 23.30 percakapan kami berhenti karena sudah larut malam. Aku langsung tidur setelah Dwita meneleponku. Dwita yang sedang sedih setelah ditinggal kekasihnya mengirimkan sebuah sms padaku

“Ka, aku gak bisa tidur, temeni aku dong”

Tapi, sayangnya aku sudah tidur

*

Dwita menghampiriku di kelas. Wajahnya murung, matanya masih berkaca-kaca, terlihat sekali jika Dwita habis menangis semalaman hingga matanya bengkak. Kali ini Dwita bercerita banyak tentang Gilang. air matanya menetes. kuusap pelan-pelan.

“Sudahlah, jangan sedih terus seperti itu, masih ada aku yang bisa jadi temanmu”

Setelah bel masuk berbunyi, Dwita baru kembali ke kelasnya. Dwita tidak bilang sepatah kata pun padaku. Dia hanya tersenyum sembari keluar.

Sejak saat itu hubunganku dan Dwita semakin dekat walaupun sebatas teman. Dwita masih sesekali bilang padaku jika ia merindukan Gilang. Sewaktu shalat Jumat di masjid, Dwita mengirimkan sebuah pesa .

”Ka, kamu makan belum? temeni aku makan yuk”. T

tentu aku tidak langsung membalasnya karena waktu itu khotib sedang menyampaikan khotbah. Sembari keluar dari masjid aku balas sms Dwita tadi. Karena aku belum makan siang, aku putuskan untuk menemani Dwita makan siang. Di warung gado-gado kesukaannya kami bertemu, Dwita sudah menungguku disana.

“Sudah lama nunggu? Maaf lama”

“nggak papa. Kalau di masjid itu ngapain aja, sih?”

aku hanya tersenyum. Pikirku maklum jika dia bertanya seperti itu. ya, ia seorang kristen.

Semakin lama hubungan kami semakin dekat. Bisa dikatakan sangat dekat. Walaupun demikian, aku berusaha tetap menjaga jarak dengan Dwita. Bagaimana lagi, aku seorang muslim, sedangkan Dwita seorang nasrani. Tetapi aku tidak bisa berdusta, ada perasaan lebih tentang Dwita yang mulai muncul. Dwita adalah gadis yang baik, dia juga cantik.Semakin lama perasaan ini semakin besar. Aku sadar mungkin aku sudah kelewatan. Dwita yang juga masih single itu ternyata juga menyimpan perasaan yang lebih padaku.

Aku jemput dia di gereja. Indah bukan? Prosesi ibadah masih berlangsung. Kami tidak langsung pulang, kami  ke taman, duduk berdua di sebuah bangku panjang.

“Ka, aku mau bilang sesuatu boleh?”

“Boleh”

Tiba-tiba suara adzan berkumandang dari sebuah masjid yang tidak jauh dari taman. Waktu itu memang sudah menunjukkan waktu shalatdzuhur.

“nanti saja, kamu salat dulu. Aku tunggu disini".

“Kamu ganteng, habis wudhu? wajahmu lebih bersinar"

ku hanya tersenyum mendengarnya.

“O iya, tadi mau bilang apa?” Tanyaku pada Dwita.

“Gini, kita kan udah lama dekat. Aku sayang sama kamu, aku pengen jadi pacarmu, Ka” Jawab Dwita dengan malu-malu.

Aku bingung mau menjawab apa. Aku tidak bisa berbohong, aku juga mencintai Dwita, tapi keyakinan kami berbeda. Aku teringat ayah yang melarangku berhubungan dengan orang yang berbeda keyakinan. Ini bukan main-main, ini tentang masa depan, pikirku dalam hati. Aku beranikan diri untuk menjawab.

“Dwita, aku juga mencintaimu, tapi kita tahu keyakinan kita berbeda, Aku mencintaimu, tapi aku lebih mencintai Tuhanku”

dia hanya m saja, matanya berkaca-kaca. seperti  berusaha tersenyum, tetapi air matanya tidak bisa berbohong.

Hujan turun, air hujan pun menutupi air mata Dwita. Dia berusaha untuk tegar.

“Pulang yuk”

ku mengantarnya pulang sore hari itu.Sesampai di rumah Dwita langsung masuk ke rumah tanpa mengucapkan sepatah katapun padaku.

Aku langsung pulang setelah mengantar Dwita pulang. Aku merasa bersalah tentang kejadian tadi sore hari itu. Dwita sepertinya belum bisa menerima kenyataan itu. Selang 3 hari Dwita sama sekali tidak menghubungiku. Biasanya dia selalu sms setiap malam, kadang meneleponku hingga berjam-jam.

Hari ke empat setelah itu, Dwita mengirimkan sebuah sms. Dia ingin aku menemuinya di taman tempat biasa kami bertemu pukul 4 sore. Aku memenuhi permintaannya tersebut, Dwita sudah di sana saat aku sampai di taman. Dia hanya berdiri sendiri di tepi danau menghadap ke danau memandangi langit yang mulai senja. Dwita tersenyum saat aku menemuinya.

“Aku sekarang mengerti, pasti akan banyak masalah yang harus kulalui jika aku bersatu denganmu. Sebenarnya, aku masih bingung, apa salah kita hingga jatuh cinta pun terasa menyakitkan? Dosakah aku bila mencintaimu? Dosakah kau bila mencintaiku? Aku akan selalu berdoa kepada Tuhan untuk kebahagiaan masing-masing kita nantinya. Semoga tangis ini adalah awal kebahagiaan kita. Jangan pernah menyalahkan perbedaan, sayang. Aku juga mencintai Tuhanku, dan Tuhanmu pun pasti akan mencintaimu, tetaplah ada untukku ya, Ka”

tangannya kini kugenggam lebih erat, jemarinya erat di sela-sela jemariku.Kupeluk ia dengan lenganku sendiri




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline