Lihat ke Halaman Asli

Yusuf Cahyono

Suka menulis danembaca

Tersandera Politik

Diperbarui: 17 Juni 2015   23:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Nikmat memilih pemimpin oleh rakyat baru saja dirasakan sebuah buah dari reformasi. Bahwa rakyat benar benar dilibatkan secara langsung untuk menentukan nasib dan masa depan bangsanya.Ketrelibatan itu dirasakan sebagai hak juga untuk membuat rasa demokrasi itu benar benar sampai kepada individu. Namun sayang gegap gempita yang semestinya bisa terus dijaga itu tiba tiba saja sepertiup tertiup angin dahsyat. Lepas dari tangan dan kembali ke atas sana. Sungguh ironi.Saat dunia hendak berkaca dan mempelajari apa gerangan yang membuat negeri inibisa demikian aman, damai menjalani pesta demokrasi ini secara apik justrudihilangkan atas dasar kepentingan politis.

Sesuatu yang sudah melekat kepada yang punya, yakni hak dasar dalam berpolitik diambil begitu sajaatas nama kesepakatan, atas nama wakil rakyat yang penuh dengan legalitas, power jugalandasi konstitusi itu, rakyat tak memiliki lidah lagi.Suaranya tertelanoleh formalitas yang syah dan mengikat. Jika demikian pantaskah rakyat menitipkan hak dan suaranya untuk lalu digunakan semaunya sendiri? Tak meminta saran atau masukan kepada rakyat? Ketika parpol telah membelah masa dan pengikut,suara rakyat absurd.Dimana sesungguhnyakekuatan rakyat itu berada? Hilangkah ketika suaranya sudah resmi dititipkan itu?

Politik kita seperti dikembalikan ke masa lalu. Yang penuh dengan intrik, penuh dengan kesepakatan yang meniadakan kontrol rakyat kembali.Kekecewaan dan sakit hati dalam melalui proses politik semestinya tidak menjadikan segala cara dan upaya untuk melakukan hal yang sesungguhnya menciderai politik itu sendiri. Politik kita benar-benar tengah sakit. Tengah dirundung galau oleh kepentingan kepentingan.Warisan cara berpolitik yang lebih memprioritaskan kekuasaan akan terus mengajarkan persetruandan berbagai intrik lainnnya.Watak kenegarawanan sudah jauh dari harapan. Sebuah watak yang bisa mendamaikan. Watak luhur yang lebih memikirkan nasib bangsanya bukan kepada golongan, kelompok atau partainya sendiri.

Jika sebuah kekuasaan lebih banyak ditentukan oleh deal deal tertentu.Lebih karena kesepakatan untuk berbagi kekuasaan, lantas apa yang diharapkan dari proses demokrasi yang tengah dibangun ini? Sungguh masa depan yang suram.Betapa bahayanyajika negeri inilebihditentukan oleh proses proses yang demikian itu? Ini baru awal dari sebuah tragedi demokrasi. Ketika rakyat benar-benar disingkirkan dari proses berdemokrasi yang telah dibangun ini.Politik hanyalah carabukan alat yang digunakan untuk membangunkekuasaan.Mungkin jika peradaban politik ini akan berlanjut dengan model model kesepakatan seperti ini,kepastian hukum,konstitusi dan kebenaran akan makin kabur.Lantas siapa pemimpin negeri ini kelak? Ya, mungkin bernama arogansi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline