Praktik santet, yang melibatkan penggunaan kekuatan gaib untuk menimbulkan kerugian pada orang lain, telah lama menjadi perhatian dalam masyarakat. Dalam upaya memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi masyarakat, pembuat undang-undang telah memasukkan pengaturan mengenai tindak pidana santet dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru.
Analisis Pasal 252 KUHP Baru
Pasal 252 KUHP secara tegas mengatur tentang perbuatan seseorang yang mengaku memiliki kekuatan gaib dan menawarkan jasa tersebut untuk menimbulkan kerugian pada orang lain. Unsur-unsur yang harus terpenuhi agar suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana santet adalah:
1. Pernyataan Memiliki Kekuatan Gaib: Pelaku secara eksplisit menyatakan atau mengklaim memiliki kemampuan untuk melakukan perbuatan gaib.
2. Penawaran Jasa: Pelaku menawarkan jasa yang berkaitan dengan penggunaan kekuatan gaib tersebut kepada orang lain.
3. Niat Menyebabkan Kerugian: Pelaku memiliki niat untuk menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik pada orang lain melalui perbuatan gaib tersebut.
Tindak pidana santet dalam Pasal 252 KUHP merupakan delik formil, artinya yang dipidana adalah perbuatannya, bukan akibat yang ditimbulkan. Hal ini berarti, seseorang dapat dipidana meskipun perbuatan gaib yang dilakukannya tidak benar-benar menimbulkan kerugian pada orang lain.
Tujuan utama dari pengaturan pidana santet dalam KUHP adalah:
Melindungi Masyarakat: Memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat dari praktik penipuan yang mengatasnamakan kekuatan gaib.
Mencegah Konflik Sosial: Mencegah terjadinya konflik sosial yang dipicu oleh kepercayaan terhadap santet.
Menegakkan Ketertiban Umum: Mempertahankan ketertiban umum dengan mencegah terjadinya tindakan yang meresahkan masyarakat.
Penerapan Pasal 252 KUHP memiliki implikasi hukum, yaitu:
Tantangan Pembuktian
Membuktikan tindak pidana santet seringkali menjadi tantangan karena sifatnya yang abstrak dan sulit untuk dibuktikan secara empiris. Dalam konteks pembuktian tindak pidana santet, pendekatan yang dapat ditempuh adalah Pengakuan Pelaku, pengakuan secara tertulis atau lisan dari pelaku merupakan bukti yang paling kuat. Lalu Saksi Mata, keterangan saksi yang melihat atau mendengar langsung penawaran jasa atau pelaksanaan ritual santet. Selanjutnya barang bukti fisik berupa benda-benda yang digunakan dalam ritual santet, meskipun nilai pembuktiannya relatif lemah.
Bukti elektronik yang dapat digunakan antara lain rekaman percakapan, pesan singkat, atau video yang dapat menjadi petunjuk adanya penawaran jasa. Pembuktian melalui keterangan ahli misalnya pendapat ahli psikologi, sosiologi, atau agama dapat membantu menjelaskan dampak psikologis dari kepercayaan terhadap santet dan konteks budaya di mana praktik ini berlangsung.
Dan bukti Circumstantial yaitu Keterkaitan Temporal dan Spasial yaitu hubungan antara perbuatan pelaku dengan timbulnya kerugian pada korban dapat menjadi bukti yang memperkuat dugaan tindak pidana.
Tantangan utama dalam membuktikan tindak pidana santet adalah sifatnya yang subjektif dan sulit diukur secara objektif. Beberapa solusi yang dapat dipertimbangkan adalah Penguatan Peran Ahli dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas ahli yang kompeten dalam bidang psikologi, sosiologi, dan antropologi. Mempertimbangkan penggunaan metode investigasi khusus yang dapat diterapkan dalam kasus-kasus yang melibatkan kepercayaan dan praktik-praktik mistis. Membangun kerjasama antara penegak hukum, ahli, dan tokoh masyarakat untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif tentang fenomena santet.
Pengaturan pidana santet dalam KUHP merupakan langkah maju dalam upaya melindungi masyarakat dari praktik-praktik yang merugikan. Namun, penerapannya dalam praktik membutuhkan kehati-hatian dan pemahaman yang mendalam terhadap karakteristik delik ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H