Ukraina dalam Sengkarut Perang
Perang antara Rusia dan Ukraina yang dimulai pada akhir Februari 2022 telah mengguncang dunia. Konflik ini bermula dari keputusan Rusia untuk melakukan "operasi militer khusus" dengan dalih untuk melindungi etnis Rusia di Donbass dan Luhansk dari ancaman dan persekusi rezim Kiev . Namun, di balik alasan tersebut, ada persaingan kekuatan antara Rusia dan negara-negara Barat, terutama NATO. Rusia khawatir dengan semakin kuatnya pengaruh NATO di wiliayah timur Ukraina dan merasa terancam eksistensinya. Akibatnya, upaya diplomasi untuk menyelesaikan konflik ini masih menemui jalan buntu.
Pihak Ukraina berpandangan bahwa apa yang dipikirkan Rusia merupakan sesuatu yang tidak dapat dicerna oleh akal sehat karena serangan militer Rusia yang menargetkan fasilitas publik dan bahkan pangkalan militer , hanya akan menimbulkan penderitaan bagi rakyat Ukraina dan melanggar hak asasi manusia secara besar-besaran. Hal ini dapat dilihat dalam laporan yang ditulis oleh Dewan HAM PBB dalam Misi Pemantauan Hak Asasi Manusia PBB di Ukraina Hingga 31 Agustus 2024, telah mendokumentasikan sedikitnya 11.743 warga sipil tewas dan 24.614 terluka di Ukraina sejak dimulainya invasi besar-besaran Rusia. Alasan Rusia yang mengklaim tindakannya sebagai bentuk pembelaan diri dengan dasar Pasal 51 Piagam PBB tidak lah memiliki dasar yang kuat dan jelas, baik dari segi fakta maupun hukum. Ukraina menegaskan bahwa invasi ini merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap kedaulatan dan integritas wilayah negara mereka.
Konflik tersebut tidak hanya memicu pelanggaran HAM dalam skala besar, tetapi juga menimbulkan efek domino yang meluas ke berbagai sektor di negara-negara lain, termasuk dalam aspek ekonomi, energi, pasokan pupuk, rantai pasok, politik, dan keamanan. Dampaknya yang merugikan bagi seluruh pihak, baik secara material (ekonomi, sosial, keamanan) maupun immaterial (politik dan kemanusiaan), mendorong Indonesia untuk mengambil peran aktif dalam upaya perdamaian antara kedua negara yang berkonflik.
Indonesia Sebagai Negara Mediator
Presidensi G20 Indonesia pada 2022 menjadi momentum bagi negara kita untuk lebih aktif berperan sebagai mediator dalam konflik global, khususnya antara Rusia dan Ukraina. Langkah awal Indonesia dalam upaya perdamaian, yaitu membangun stabilitas internasional tergambar dalam kunjungan Presiden Joko Widodo di Moskow Rusia. Dalam berita yang dikutip dari Seketariat Presiden, pada tanggal 30 Juni 2022 , dalam pertemuan tersebut, Presiden Jokowi menyampaikan pesan langsung dari Presiden Zelensky kepada Presiden Putin, sekaligus menyampaikan kekhawatiran internasional terhadap krisis pangan global yang diakibatkan oleh konflik ini. Oleh karena itu diharapkan konflik yang berakibat buruk terhadap kemanusiaan ini agar dapat segera menemukan jalan tengah nya.
Upaya perdamaian melalui diplomasi proaktif yang dilakukan Indonesia tidak berhenti walaupun tidak lagi menjadi pemegang presidensi G20. Indonesia berperan kembali sebagai mediator utama dalam "Ukraine Peace Forum" yang diadakan di Resor Brgenstock di Swiss pada tanggal 15--16 Juni 2024. Tujuan utama forum ini adalah menyamakan persepsi internasional dalam membantu upaya penyelesaian konflik Ukraina secara damai.
Diplomasi - diplomasi yang dilakukan Negara kita dalam Perang Ruisa-Ukraina merupakan upaya Indonesia dalam menjadi attractive/menarik di mata dunia, karena menjadi negara yang berani menekan Rusia dan Ukraina untuk dapat berdamai melalui jalur dialog. Sehingga dapat disebut sebagai diplomasi soft power. Menurut Geun Lee dalam jurnal nya "A Theory of Soft Power and Korea's Soft Power Strategy" mendefinisikan soft power sebagai kemampuan negara untuk mengelola soft resources (nilai-nilai, budaya, dan citra positif, yang dimiliki), sehingga dapat mempengaruhi pihak lain baik bersifat kooperatif maupun koersif.
Diplomasi Soft Power Berdasarkan Prinsip R2P
Responbility to Protect atau dikenal dengan istilah prinsip R2P adalah sebuah prinsip di dalam hubungan internasional yang bertujuan mencegah pemusnahan masssal, kejahatan perang, pembersihan etnis dan kejahatan tehadap kemanusiaan. Prinsip R2P sendiri lahir dari hasil penelitian yang dilakukan oleh komisi ad hoc yang dibentuk PBB pada tahun 2000 bernama International Commission on Intervention and State Sovereignty (ICISS). Didalam laporanya ICISS, menyatakan bahwa konsep kedaulatan negara telah bergeser, dimana kedaulatan negara bukan lagi bersifat mutlak, tetapi juga sebagai tanggung jawab untuk memberikan perlindungan bagi rakyatnya dari pelanggaran masssal hak asasi manusia.
Prinsip ini kemudian disahkan dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. A/60/I tanggal 24 Oktober 2005 dan diterima oleh masyarakat Internasional. Dan selang satu tahun sesudahnya, prinsip R2P ditegaskan kembali dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB S/RES/1674 tanggal 28 April 2006. Dalam Responbility to Protect pada dasarnya termuat tiga pilar tanggung jawab negara dan masyarakat internasional dalam hal:
1. ) Tanggung jawab negara untuk melindungi rakyatnya sendiri dari pemusnahan massal (genocide), kejahatan perang (war crimes), pembersihan etnis (ethnic cleansing) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), dan dari segala macam tindakan yang mengarah pada jenis-jenis kejahatan tersebut. Negara bertanggung jawab untuk mencegah konflik dengan cara mengatasi akar permasalahan konflik dengan pemecahan masalah melalui jalur diplomatik, ekonomi maupun militer.
2.) Tanggung jawab berpindah pada masyarakat internasional apabila negara tidak mau ataupun tidak mampu melindungi penduduk sipilnya sendiri dari pelanggaran HAM secara massal yang telah terjadi di negaranya.
3.) Tanggung jawab negara anggota PBB dan masyarakat internasional untuk bertindak cepat, guna mencegah serta menghentikan terjadinya pemusnahan massal. Cara yang dapat ditempuh adalah dengan mengutamakan penyelesaian damai melalui diplomasi, memberikan bantuan kemanusiaan, serta mengambil langkah-langkah kolektif sesuai dengan mandat PBB.
Perang Rusia-Ukraina berakibat pada terjadinya keterlibatan intervensi negara asing dalam penyelesaian konflik. Negara-negara netral termasuk Indonesia guna membangun stabilitas internasional menempatkan dirinya sebagai negara penengah. Diplomasi yang dilakukan Indonesia pada Konflik Rusia-Ukraina didasari pada alasan bahwa telah terjadi tragedi kemanusiaan luar biasa yang dapat mengancam perdamaian dan keamanan internasional sebagaimana tujuan PBB, serta terjadinya kegagalan negara dalam melindungi penduduk sipil dari pembunuhan massal dan semua cara non militer telah ditempuh tetapi tetap saja gagal
Sekretaris Jendral PBB dalam laporannya Responsibility to Protect: Timely and Decisive Response menerangkan bahwa pilar pertama dan pilar kedua merupakan tindakan preventif sedangkan pilar ketiga merupakan tindakan responsif. Hal inilah yang menajadi dasar Indonesia menjadi mediator dalam Perang Rusia-Ukraina, sebagai tindakan responsif yang cepat tanggap guna mengupayakan dan menghentikan terjadinya pelanggaran HAM secara massal.
Dalam upaya menegakkan prinsip Responsibility to Protect (R2P), Indonesia dapat berperan aktif dalam menyelesaikan konflik di Ukraina. Dengan mendorong diplomasi preventif, memberikan bantuan kemanusiaan, dan bekerja sama dengan organisasi internasional, Indonesia dapat berkontribusi dalam mencegah terjadinya pelanggaran HAM yang lebih serius. Posisi netral Indonesia memberikan landasan yang kuat untuk membangun kepercayaan antara kedua belah pihak yang berkonflik, sehingga upaya mediasi yang dilakukan dapat lebih efektif.
Doplimasi yang dilakukan Indonesia dengan membawa nilai-nilai, budaya, dan citra positif, yang dimiliki selain bertujuan untuk meredam konflik Rusia-ukraina juga guna membangun citra baik Indonesia di mata dunia. Hal ini dapat tercipta dikarenakan Indonesia menjadi negara yang berani menekan Pemerintah Rusia dan Ukraina untuk dapat berdamai melalui dialog.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H