Toleransi merupakan suatu hal penting di Indonesia, mengingat ada beragam suku, ras dan agama yang ada dan telah berakar selama bertahun-tahun di seluruh nusantara. Kehadiran dan paham mengenai toleransi pun mendapat tempat yang cukup baik di lingkungan masyarakat Indonesia. Mereka sadar bahwa kesatuan dan persatuan NKRI harus terus dijaga, dan toleransi merupakan hal yang paling fundamental dalam usaha untuk mewujudkannya. Namun, apakah kita sudah sepenuhnya memahami apa itu toleransi ? dan apakah kita sudah sepenuhnya mampu menerapkan dan menjaga toleransi ?. Rasanya tak dapat dipungkiri bahwa kita belum sepenuhnya bisa menerapkan toleransi dengan baik, mengingat tak jarang kita mendengar berita mengenai penggusuran serta penolakan rumah ibadah dan persekusi terhadap kelompok minoritas di Indonesia. Lalu apa akar permasalahan dari ini semua ?
Jika dilihat dari aspek masalah perbedaan suku, agama, dan ras, maka kurangnya pemahaman mengenai toleransi mungkin bisa jadi jawabnya. Manusia seringkali merasa superior ketika ia memiliki keunggulan daripada manusia lainnya, begitupun dengan kelompok yang akan merasa lebih superior dari kelompak lain ketika ia memiliki kekuatan atau jumlah yang lebih banyak. Dan itulah yang seringkali terjadi di lingkungan masyarakat kita. Kasus-kasus seperti penolakan dan penggusuran gereja, penolakan komunitas agama, dan persekusi terhadap orang Indonesia timur seringkali terjadi di wilayah di mana mereka merupakan kelompok minoritas. Kelompok mayoritas seringkali merasa superior terhadap kelompok minoritas yang ada di wilayah mereka, sehingga ketika mereka merasa tidak setuju dengan perilaku, keyakinan dan tindakan kaum minoritas, mereka akan dengan entengnya menghakimi karena merasa berwenang dan berkuasa, dan itu seringkali terjadi tanpa proses hukum dan dengan diskriminasi.
Lalu mengapa meraka dikatakan tidak paham toleransi ? Apa itu toleransi ?. Toleransi pada dasarnya mengacu pada pemahaman mengenai pluralisme dalam masyarakat dan lingkungan sosial, yang mana pluralisme sendiri merupakan pemahaman dasar mengenai sikap toleransi. Menurut seorang tokoh pluralisme dan kristen Skotlandia, James Hastings, Pluralisme adalah "pemahaman dan penghayatan sekaligus penerimaan terhadap kenyataan bahwa ada agama-agama lain yang berbeda dengan kita"(Hastings, 1951, hlm.66). Sedangkan menurut Livingstone Thompson, seorang professor teologi Dublin City University, pluralisme merupakan "pemahaman adanya ruang bagi klaim yang sama terhadap validitas dan kebenaran di antara agama-agama atau ras dan kelompok keyakinan, yang pada dasarnya bertentangan dengan apa yang kita yakini dan pahami"(Thompson, 2009, hlm.1). Berdasarkan dua pendapat tersebut dapat dipahami bahwa dasar dari toleransi adalah 'penerimaan' terhadap keyakinan, tindakan, perilaku, bentuk fisik, dan apapun itu yang dimiliki oleh orang lain yang sekiranya tidak menyakiti dan merugikan kita secara langsung.
Menilik lebih lanjut tentang toleransi yang ada di Indonesia mungkin tak seburuk yang kita pikirkan, masih banyak contoh kelompok umat antar agama seperti islam dan Kristen atau dengan agama lainnya yang dapat hidup damai berdampingan selama bertahun-tahun tanpa ada pertentangan dan penolakan. Hal ini mungkin terjadi karena mereka sudah berinteraksi cukup lama dalam suatu wilayah. Namun berbeda dengan kasus-kasus penolakan baru-baru ini yang cenderung kelompok minoritas adalah kelompok masyarakat baru dalam sebuah lingkungan, sehingga timbul penolakan dan persekusi karena dirasa aneh dan sesat. Seperti contohnya persekusi mahasiswa papua di jawa dan penolakan rumah ibadah minoritas. Dalam hal ini, dapat kita lihat bahwa toleransi yang terjalin di satu sisi dan penolakan di sisi lain adalah karena adanya 'batasan' dalam bertoleransi.
Kita seringkali mampu bertoleransi dengan kelompok A tapi tidak dengan B karena B dirasa lebih aneh daripada A yang dirasa biasa saja karena sudah lama berdampingan, dan hal ini adalah 'batasan' yang tanpa sadar kita ciptakan dalam bertoleransi. Seperti contoh kasus yang paling umum adalah umat islam Indonesia yang mampu berdampingan dengan umat Kristen, hindhu, dan budha, namun bertikai dengan umat sesamanya. Seperti yang baru-baru ini terjadi yaitu penolakan kajian Ust. Syafiq Basalamah di masjid As-salam Surabaya. Dimana Ust. Syafiq yang merupakan seorang penganut manhaj salaf ditolak oleh ormas dan masyarakat setempat karena dinilai sesat (tempo.co). Dimana penilaian sesat disini dapat dilihat sebagai keasingan dan ketidaktahuan masyarakat terhadap manhaj salaf yang sehingga mereka anggap itu aneh. Hal inilah yang kemudian menimbulkan 'batasan' dalam bertoleransi. Bila merujuk pada pengertian sebelumnya tentang pluralisme dan toleransi, maka 'penerimaan' itu tidak terbatas pada apapun, entah itu kita sudah mengetahuinya atau baru mengentahuinya, yang mana dalam hal ini maka toleransi seharusnya berlaku kepada Ust.Syafiq.
Dalam hal ini, penulis ingin menekankan bahwa penulis bukanlah orang yang fasih dalam agama. Namun bukankah sebagai seorang muslim kita diajarkan untuk bertoleransi oleh Rasulullah ? bahkan ketika memimpin Madinah pun rasul masih bisa bertoleransi dengan kaum yahudi yang memiliki stereotype buruk. Penulis disini ingin mengajak kepada seluruh pembaca untuk sama-sama menghilangkan 'batasan' dalam bertoleransi, entah itu dalam masalah agama, suku, ras dan lain-lain. Jika pun kita merasa keyakinan dan perilaku orang lain tidak benar, bukankah rasul mengajarkan kita untuk mendakwahinya ? dan bukan dengan menghakimi serta mempersekusi nya ?. Sebagai penutup penulis ingin mengutip sebuah kutipan bijak yang berbunyi "Jika kamu merasa hebat maka ingatlah... Bunga tidak memetik dirinya sendiri, dan manusia tidak membangun ketentraman sendiri".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H