Lihat ke Halaman Asli

Modus Operandi: Sekolah Menjadi Sasaran Empuk (2)

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari itu, berkumpullah seluruh panitia Buku Kenangan sebuah SMA di kawasan Jakarta Selatan. Rapat. Ya mereka sedang rapat untuk menentukan beberapa surat pengajuan dari event organizer untuk menjadi rekanan dalam jasa pembuatan Buku Kenangan (Buku Tahunan).

Ada tiga yang mengajukan dengan melampirkan harga, kualitas cetak, dan beberapa bonus yang akan didapatkan. Beragam harga dan bonus yang ditawarkan dengan kualitas yang sama, yaitu menggunakan kertas mate paper, full color, 120 halaman, dan cover tebal eksklusif dengan finishing UV Spot laminating.

Yang pertama, menawarkan harga Rp 225.000,- per buku dengan bonus setting dan edit komputer gratis.

Yang kedua, menawarkan harga Rp 200.000,- per buku dengan bonus foto, setting dan edit komputer gratis.

Yang ketiga, menawarkan harga Rp 200.000,- per buku dengan bonus foto, setting dan edit komputer gratis serta bonus khusus “kaos panitia” sebanyak jumlah panitia.

Tentu saja panitia yang selalu melirik ke belakang tentang saldo sebuah kepanitiaan, setuju dengan penawaran yang ketiga. Mungkin kita juga akan berpikiran sama bukan? Nah, ternyata tidak salah, panitia memilih penawaran yang ketiga dan segera melaporkan kepada pihak sekolah yang diwakili oleh seorang Guru Pembimbing..

Seperti layaknya sebuah bisinis, maka dibuatlah “Surat Perjanjian” antara pihak sekolah yang ditandatangani oleh Guru Pembimbing dengan pihak event organizer satu minggu kemudian. Dalam surat perjanjian disebutkan bahwa uang yang harus dibayarkan pihak sekolah sebesar Rp 53.000.000,- dengan membayar uang muka (DP) sebesar Rp 26.500.000,-, setelah proses editing selesai. Disebutkan pula, setelah pihak event organizer memberikan contoh proof maka pihak sekolah harus membayar lagi uang sebesar Rp 13.250.000,-, dan sisanya dibayarkan setelah seluruh buku diterima oleh pihak sekolah. Pihak event organizer, menjanjikan dua puluh (20) hari buku selesai setelah contoh proof disetujui.

Selama proses foto dan editing yang hampir memakan waktu satu bulan, event organizer yang diwakili oleh mas Danan (sebut saja demikian) dan beberapa siswa panitia bagian desain, bekerja di sebuah tempat setting di daerah Kebayoran Lama. Dan selama itu pula panitia menanggung biaya makan dan keperluan lainnya (rokok dan ngopi) yang dibutuhkan mas Danan. Komunikasi antara kedua belah pihak semakin akrab bagaikan teman dekat (katanya mas Danan orangnya gaul banget gitoh!) dengan seringnya mas Danan berkunjung ke sekolah. Bahkan beberapa kali mas Danan membawa laptop salah satu siswa untuk dibawa ke tempat setting.

Setelah satu bulan lebih bekerja, akhirnya selesailah proses setting dan editing. Uang muka yang pertamapun dibayarkan sebesar Rp 26.500.000,-. Tiga hari kemudian mas Danan menunjukkan hasil proof buku untuk memberikan penjelasan mengenai hasil dan menunggu koreksi dari panitia. Dua hari yang dijanjikan terjadilah transaksi pembayaran yang kedua sebesar Rp 13.250.000,-. Karena ingin buru-buru selesai, mas Danan minta kepada salah satu siswa (sebut saja Arie) untuk langsung meng-edit saat itu juga ke tempat setting di Kebayoran Lama.

Berangkatlah mereka berdua sambil membawa laptop Arie dengan mengendari sepeda motor milik salah satu panitia menuju tempat setting. Mulailah mereka berdua bekerja meng-edit sesuai hasil kesepakatan panitia (menurut informasi dari panitia, ternyata banyak sekali nama, alamat, dan nomor telepon yang salah). Tentu saja proses editing terakhir lebih banyak dikerjakan oleh Arie, dimana ia lebih tahu nama teman-temannya.

Lagi asyik-asyiknya Arie berkutat dengan komputer, mas Danan mengatakan ingin keluar sebentar mau mengambil data (beberapa file memang tidak ada di komputer) ke sekretariat event organizer, sementara Arie harus tetap meng-edit. Mas Danan meminjam sepeda motor dan tentu saja lapotop-nya Arie (untuk menyimpan data yang belum lengkap) menuju sekretariat.

Inilah akhir dari pertemuan (baca : persahabatan) mereka berdua. Setelah ditunggu berjam-jam bahkan sampai tengah malam, mas Danan tidak pernah muncul lagi. Ternyata nomor telepon sekretariat event organizer yang ada di kop surat adalah sebuah rumah petak tempat kost di daerah Ciputat. Begitu juga dengan nomor HP beberapa orang event organizer tersebut tidak ada satupun yang bisa dihubungi.

Sampai berita ini saya ketahui, mas Danan dan komplotannya tidak diketahui keberadaannya.

Pihak sekolah kehilangan uang Rp 39.750.000,- dengan sia-sia dan Buku Tahunan tidak pernah ada. Arie kehilangan laptop-nya, ditambah temannya kehilangan sebuah sepeda motor.

Sebuah modus operandi yang cukup rapi dan “penuh kesabaran” yang perlu diwaspadai oleh kita semua. Waspadalah ….., waspadalah!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline