Lihat ke Halaman Asli

Leopard, bukan Leonardo

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sore tadi, usai mengajar, sambil menunggu anakku yang masih mengikuti pelajaran tambahan, aku merapihkan buku-buku di rak -yang selalu saja berantakan setiap habis pembelajaran- sambil mendengarkan lantunan “Someone Like You”nya Adele. Tiba-tiba terdengar ketukan pintu.  Terlihat di balik kaca pintu wajah muridku yang memang paling sering mampir ke ruanganku setelah bubar sekolah. Sembari menunggu jemputan, ia lebih sering main ke ruanganku daripada kumpul dengan teman-temannya di koridor lantai bawah.

Namanya Ikhwan, salah satu muridku di kelas 7. Orangnya terlihat cupu (=culun punya, istilah yang dipakai buat anak yang kurang gaul), lebih suka menyendiri dan memang terlihat jauh dari pergaulan dengan teman-temannya. Di ruanganku biasanya ia bermain gitar atau bermain piano, meskipun kemampuan psikomotorik musiknya tergolong biasa-biasa saja atau bahkan mungkin malahan nggak ngerti banyak tentang bermain musik.

“Assalamu’alaikum, saya boleh masuk pak?” sapa Ikhwan sambil membuka pintu.

“Wa ‘alaikum salam, silakan masuk. Ada yang bisa saya banting?” candaku.

Aku memang salah satu pengajar yang terbiasa dengan kata-kata penuh canda, seolah-oleh terdengar seenaknya saja. Namun murid-muridku sudah terbiasa dengan kata-kata “ada yang bisa saya banting?” yang maksudnya adalah “ada yang bisa saya bantu?”.

“Nggak pak, mau numpang ngadem aja,” jawabnya nyengir dan langsung menuju pojok ruangan kesukaannya.

Dari dalam tasnya dikeluarkan sebuah buku gambar A3, dibuka dan kulihat Ikhwan mulai menggambar tanpa menghiraukanku yang dari tadi mengamati dia terus. Tak ingin menggangunya, aku mematikan Winamp di komputerku dan meneruskan merapihkan buku yang tadi sempat tertunda.

Hening, tanpa suara. Kulihat Ikhwan terus saja cuek menggambar seolah-olah di ruangan hanya ada dia sendiri tanpa mempedulikanku. Kuperhatikan beberapa saat, mulutnya monyong sana monyong sini mengikuti ayunan pensil di tangannya. Rasa penasaran mulai timbul di benakku. Segera kuhampiri Ikhwan dan kulihat ia (sepertinya) sedang menggambar suasana medan pertempuran. Ada gambar tank dan beberapa serdadu yang sedang memegang senjata.

“Wah seru banget nih kayaknya, lagi nggambar apa Wan?” tanyaku untuk memecah keheningan sekaligus rasa penasaran.

“Ini gambar kota Berlin lagi diserang Rusia pak!” jawab Ikhwan penuh semangat, dan lanjutnya.

“Kalau Berlin diserang oleh Rusia, berarti perang dunia ketiga sudah dimulai pak.”

Bingung aku mau kasih komentar apa. Biar terasa ada perhatian, aku iseng saja bertanya,

“Kok gambar tanknya mirip sama konsepnya Leonardo da Vinci, emang ada tank yang bentuknya jadul seperti itu?”

“Bapak gimana sih! Ini namanya Leopard pak, bukan Leonardo. Emang bapak ga tau ya kalau Jerman punya tank andalan yang namaya Leopard?” jawab Ikhwan yang sepertinya ga nyambung sama pertanyaanku yang sebenarnya hanya bercanda saja.

Belum sempat aku memberi tanggapan, Ikhwan langsung nyerocos menjelaskan dengan detail beberapa jenis tank yang sudah diproduksi oleh Jerman, tahun berapa dan pernah dipakai dalam perang ini dan perang itu, yang salah satunya aku ingat adalah ia katakan untuk perang Kosovo.

“Mati aku!”, ucapku dalam hati.

Selesai menjelaskan tank Jerman, dia melanjutkan “kuliahnya” mengenai koleksi persenjataan berat Amerika Serikat dan Rusia. Mulai dari tank, pesawat Bomber, pesawat pengintai, peluru kendali, senjata nuklir, senjata kimia dan biologi. Semua penjelasannya benar-benar membuat aku terpana dan kelihatan bodoh.

Dan lebih “gilanya” anak ini, kok bisa-bisanya ia menyebutkan jumlah dari masing-masing senjata yang dimiliki dua negara Adidaya tersebut dengan angka-angka yang terdengar sangat pasti dan akurat. Entah benar atau tidak yang dikatakan, yang pasti aku hanya bisa melongo …….

Ternyata dibalik kekurangan seseorang, tersimpan kelebihan yang sangat …… (entah kata apa yang paling tepat untuk “titik-titik tersebut” buat menggambarkan muridku yang bernama Ikhwan).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline