Lihat ke Halaman Asli

Illat Keharaman Riba

Diperbarui: 27 Februari 2022   10:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Islam diturunkan oleh Allah SWT sebagai penyempurna agama sebelumnya dan untuk menyelamatkan manusia dari kehidupan di dunia dan akhirat. Didalam islam memiliki aturan tentang cara bermuamalah (jual-beli) tetapi melrang adanya riba. Karena manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang berarti tidak dapat memnuhi kebutuhanya tanpa bantuan orang lain, islam mengatur berbagai ketentuan tentang bagaimana cara bertransaksi tanpa merugikan orang lain.

Dalam hal ini riba merupakan suatu transaksi yang dapat membahayakan kehidupan manusia sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Baqarah : 275 yang artinya : “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”

Dari ayat diatas Allah menegaskan bahwa Riba itu dilarang karena dapat mendatangkn penyakit gila dan menjadikan pelaku riba sebagai penghuni neraka. Menurut islam riba merupakan praktek hutang-piutang yang disertai dengan memberikan tambahan (bunga) pada pinjaman pokok kepada pihak yang meminjam. Dari pengertian tersebut riba bertentangan dengan ajaran islam dimana peminjam dana memiliki beban yang besar dalam mengembalikan pinjaman, namun pemberi pinjaman mendapatkan keuntungan yang besar dari bunga tersebut.

Islam membagi riba dalam dua kategori yaitu Riba Nasiah dan Riba Buyu’. Riba Nasiah adalah tambahan nilai yang dibayarkan oleh peminjam dana sebagai kompensasi dari dana yang dipinjam. Sedangkan Riba Buyu’ menurut Abu Zahrah terbagi menjadi 2, yaitu Riba Fadl dan Riba Nasa’. Yang pertama, tambahan yang terdapat pada transaksi yang mewajibkan adanya kesamaan ukuran. Yang kedua, adanya tempo pada transaksi atas barang yang harus langsung diserahkan saat akad. mayoritas ulama dari masa awal sampai sekarang walaupun berbeda madzhab mengikuti pendapat dimana dalam transaksi memungkinkan adanya unsur riba.

Pendapat ini disandarkan pada Hadist yang berbunyi : “Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Muslim no. 1584).

Meskipun dalam hal ini hanya terbatas pada 6 jenis barang dagangan, tetapi para ulama melakukan qiyas terhadap masalah ini untuk memberikan ketentuan hukum pada transaksi yang memiliki kesamaan illat pada 6 jenis ini. Pada kasus ini, illat yang dianggap oleh para ulama adalah harus dijual secara sama ukurannya, dan diserahkan secara langsung ketika akad. Dengan proses tersebut, maka cakupan riba semakin meluas tidak hanya terbatas pada 6 jenis dalam hadis.

Perdebatan ini tidak lepas dari cara pandang ulama, apakah pengharaman ini bersikap ta’abbudi atau ta’aqquli. Jika bersifat ta’abbudi, maka semua aturannya tinggal dipatuhi dan dilaksanakan tanpa bisa dipahami alasan rasional kenapa aturan itu ada. Konsekwensi dari hal tersebut adalah pengharaman riba hanya terbatas pada apa yang disebut  dalam nash. Pendapat kedua dan yang dipegangi oleh mayoritas ulama, bahwa pengharaman riba ini ada ‘illat nya, sehingga bisa diqiyaskan pada hal lain yang sesuai dengan  kriteria al-aslu. Sehingga ketentuan ini tidak terbatas pada enam barang yang disebutkan secara eksplisit dalam teks hadis tersebut.

Adanya ‘illat disini disepakati para ulama berdasarkan lafadz hadis yang dipahami bahwa ketentuan riba harus berdasarkan barang yang sama jenis  dan  ukurannya. Kemudian lafadz hadis yang dipahami harus adanya penyerahan secara langsung tanpa ditunda penyerahannya. Jadi ketika ada transaksi jual beli atas barang yang sama, maka takarannya harus sama, dan harus diserahkan saat itu juga tanpa ditunda. Jika dua hal ini dilanggar, maka dalam transaksi ini dianggap terdapat praktek riba.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline