Lihat ke Halaman Asli

Maldini Vs Zidane: Next Generation

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

12904093351885984301

Beberapa tahun ke depan, penggila sepak bola seluruh dunia akan kembali menyaksikan Zidane bertarung melawan Maldini. Bukan di ajang laga reuni, tapi di Final Liga Champions, Real Madrid kontra AC Milan. Ya, itu sangatlah mungkin. Bukan sebuah khayalan yang mustahil. [caption id="attachment_76276" align="alignright" width="150" caption="Christian Maldini"][/caption] Memang, yang bertarung bukanlah Zinedine Zidane dan Paolo Maldini, melainkan Enzo Zidane (15 tahun) dan Christian Maldini (14), anak tertua dari kedua legenda. Saat ini, Enzo bergabung dengan tim muda Real Madrid, sedangkan Christian di Milan. Di kancah sepak bola, anak yang mengekor karier sang ayah bukanlah barang baru. Namun, tak semua yang berhasil menyamai nama besar sang ayah. Terlebih jika ayah mereka berpredikat legenda. Contohnya Jordi Cruyff atau Paul Dalglish. Di Italia sendiri, selain Maldini masih banyak nama yang kembali muncul. Sebut saja Filippo Mancini (anak Roberto Mancini), Lorenzi di Canio (Angelo di Canio), Mattia Lombardo (Attilio Lombardo), Simoneandrea Ganz (Muarizio Ganz), Paolo Ferrara (Ciro Ferrara), si kembar Danielle dan Emanuelle Fiori (Valerio Fiori), dan banyak lagi. Klan Maldini sendiri masih ada Daniel. Sedangkan Zidane masih ada Luca dan Theo. Christian tampaknya memang diplot sebagai penerus nama Maldini di Milan. Bahkan, kostum nomor 3 milik sang ayah, yang saat ini diistirahatkan, disiapkan untuk Christian pada saatnya nanti. [caption id="attachment_76274" align="alignleft" width="240" caption="Enzo Zidane Fernandez (google)"]

1290409096965211391

[/caption] Tak berbeda dengan Enzo yang disebut akan menjadi penerus ayahnya sebagai gelandang pengatur serang mumpuni. Ya, Enzo memang memiliki beberapa kesamaan dengan ang ayah dalam hal bermain bola. Ada hal menarik terkait Enzo Zidane atau di Madrid lebih sering disebut Enzo Fernandez. Karena memiliki dua paspor (Prancis dan Spanyol), Enzo pun menjadi rebutan kedua Negara tersebut. Beberapa bulan lalu, tersiar kabar jika timnas Prancis U-17 memanggil Enzo untuk bergabung. Tak mau kalah, timnas Spanyol U-17 pun mengungkapkan niat yang sama. "Belum ada yang perlu diputuskan. Hingga saat ini, Enzo belum masuk ke tim Spanyol atau Prancis. Jika Spanyol memanggil, bagus. Jika Prancis memanggil, bagus juga. Saat ini, dia sedang menikmati bermain di Madrid," ujar Zidane senior. Ya, sebenarnya tak masalah tim mana yang dipilih. Kalaupun memilih tim U-17 Spanyol, itu tak menutup peluang untuk bisa membela timnas senior Prancis. Di luar itu semua, anak-anak bintang ini sebenarnya memiliki masalah yang sama, yaitu bagaimana menjadi pemain yang lebih kuat dari ayah mereka? Masalah yang acap menjadi alasan mengapa tak banyak dari mereka yang kemudian bisa sesukses ayah mereka. "Mereka (para anak) harus mengerti, agar bisa mencapai prestasi seperti ayah membutuhkan bertahun-tahun kerja keras," ujar Lorenzo Varnaza, psikolog yang bekerja untuk Inter Milan. "Untuk para ayah, pertama, jangan pernah membiarkan anak-anak mereka menang. Kedua, jangan selalu pergi melihat pertandingan. Ini agar tidak memberi kesan seorang ayah yang mengontrol prestasi mereka." Sejatinya, anak para bintang itu ama sekali tak memiliki keunggulan disbanding yang lainnya. Memang ada faktor gen. Tapi, siapapun mereka, entah itu anak dari bintang sepak bola atau bukan. Seorang pemain bagus akan lahir lewat sistem pembinaan berkesinambungan. Enzo Zidane tak akan menjadi seperti saat ini jika tak bergabung dengan Real Madrid. Di sini dia mendapat ilmu sekaligus berkompetisi secara rutin. Ya, sistem pembinaan pemain muda juga butuh kompetisi yang rutin. Hal yang hingga saat ini tak terjadi di negeri kita tercinta. Ada memang kompetisi, tapi tak rutin dan berkelanjutan. Idealnya, tiap klub memiliki tim di semua lapisan usia yang juga berkompetisi. Itu idealnya. Di Indonesia memang ada ISL U-21, tapi di lapis umur di bawahnya? Sistem yang jelas sangat diperlukan. Banyak contoh yang bisa ditiru (kalau perlu studi banding hehe). Lihat bagaimana sistem di Inggris atau Spanyol. Yang pasti, kita akan butuh perombakan cetak biru sistem besar-besaran. Dimulai dengan mewajibkan klub memiliki akademi (SSB) dan tim di semua lapis usia. Itu saja dulu. Wah, itukan kerja besar dan butuh biaya tak sedikit. Benar, siapa bilang pembinaan di sepak bola (juga olahraga lain) murah dan mudah. Tak sanggup?



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline