Lihat ke Halaman Asli

Tentang Aku dengan Kamu, Dia dan Dia yang Lain

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku memandangi sudut demi sudut kamar kos ini. Duniaku ketika malam beranjak semakin menua adalah dalam kotak ini. Beringsut di balik selimut. Berselonjor pasrah. Kadang terbangun lagi. Lalu bersandar di dinding kamar. Berusaha untuk tidur lagi. Tubuh memang terlalu capai dengan pekerjaan kantor yang menumpuk. Tapi sesungguhnya memang aku akhir-akhir ini sedang dirundung malas yang tak dapat kubendung.

Malas pada keadaan

Malas pada diriku sendiri

Malas pada kehidupan

Jam dinding yang berdetak seperti menertawakanku. Lima menit menuju pukul dua belas malam. Dan aku masih terjaga. Tersadar bahwa dalam sunyi malam ini ada sebuah kerinduan yang sungguh teramat dashyat. Rindu untuk menunggu waktu melahirkan hari baru. Rindu untuk sekedar menyapamu di ujung telepon ini. Selamat ulang tahun untuk kamu, wahai pria yang selama ini telah mengikat dan membunuhku dengan cintamu meski akhirnya berujung pisah.

Tak tik tak tik tak

Tak tik tak tik tak

Tak tik tak tik tak

Aku benar-benar menghitungnya. Detik demi detik menuju hari lahirmu. Tapi sesungguhnya aku juga sedang menghitung detik demi detik menuju keputusanku tentang apa yang harus kuucapkan padamu yang berulang tahun.

Sekedar basa-basi mengucapkan, selamat ulang tahun hey kamu, doaku kamu baik-baik saja dan sukses selalu. Ataukah haruskah aku menambahkan lagi kata “sayang” untuk menambah riasan dalam ucapanku padamu.

Tapi bisakah? Sial, kamu telah mengurungku dengan kenangan. Kamu menghukumku dengan caramu. Dan aku masih teringat tahun lalu aku mempersiapkan segal-galanya demi ulang tahunmu. Membuat “suprise” untukmu. Lalu kamu tersenyum bahagia, aku juga. Lalu melayanglah setiap kata untuk harapanmu, pada kehidupanmu, juga pada kita.

Ah, tapi itu dulu saat dunia sepertinya memberikan banyak ruang untuk kita berdua dan sekarang keadaan menjadi lain ketika dunia hanya menyediakan ruangkan kotak kamar ini untukku. Jauh dari hingar bingar ramai waktu itu.

Tak tik tak tik

Tak tik tak tik

Tak tik tak tik

“Selamat ulang tahun Fer, semoga panjang umur, semoga sukses.” Ucapku diujung telepon dan aku hanya membayangkan wajahmu saat ini entah tersenyum, bahagia, kaget atau malah ngantuk.

Basi. Ya sudah, hanya itu. Lalu aku berusaha tidur dengan kepala yang pening. Hati yang getir. Kenyataan yang pahit. Kupandangi sejenak percakapan yang lain di handphone-ku. Bukan dengan kamu Fer. Tapi dengan dia. Pria yang tak pernah aku pikirkan dan aku harapkan harus hadir mengisi kisah hidupku di saat ini. Yang entahlah aku menyebutnya apa tentang aku dan dia. Tidak pernah ada status. Tidak pernah ada ujung. Tapi kenapa dia yang selalu menjadikanku tanda tanyanya.

Dia: “Jangan stupid please, angkat teleponnya.”

Aku: “No, i won’t”

Dia: “Everything okey?”

Aku: “I’m oke. I’m fine.”

Dia: “Ya sudah, tidurlah biar esok loo ngga pusing lagi.”

Aku: “Hmmm...”

Dia: “I love you so much.”

Aku: “............”

Lalu alam mimpi menjemputku.

---------------

Aku dan kamu

Kamu: “Ntar sore ke mana?”

Aku: “Ngga ke mana-mana, malam aja seperti biasa ada latihan paduan suara.”

Kamu: “Temanin makan yuk, pengen rayain ultahku.”

Aku : “Ya udah, ntar mampir jemput di kantor.”

Kamu: “Helmnya masih ada kan di kamu.”

Aku: “Udah aku loakin, hahaha. Ngga, masih ada.”

Kamu: “Byee.”

---------------

Aku dan dia

Dia: “Gue pengen ngobrol sama loo.”

Aku: “Sebentar? Waktu latihan?”

Dia: “Memangnya ada latihan?”

Aku: “Ada!”

Dia: “Ya sudah, habis latihan aja.”

Aku: “Doain aja gue bisa datang.”

Dia: “Gue juga sakit, tapi gue berusaha datang. Demi paduan suara, juga demi loo.”

Aku: “iyaa,----“

---------

Aku dan kamu

Kita merayakan ulang tahunmu. Di tempat ini yang jauh dari hingar bingar keramaian saat sore terlalu capai bagi mereka yang hidupnya digerogoti waktu dan kemacetan di ibu kota. Tak ada perayaan seperti tahun kemarin. Waktu itu saat kamu sadar kalauaku adalah kado terindah untukmu. Dan aku juga begitu, kalau kehadiranmu saja sudah memberikan ribuan ketenangan dalam hidupku. Lalu kita tenggelam dalam kebahagiaan yang sayangnya hanya sementara karena ketika kita berdua tiba pada ujung dari perjalanan bersama, ternyata perbedaan terlalu keras untuk melunakkan kita atas nama cinta. Dan waktu itu, mungkin aku sempat mempersalahkan Tuhan, kenapa harus menghadirkan agama di dunia?

Lalu kini segalanya menjadi berbeda karena kita berdua memilih untuk menjalani hidup masing-masing meski tak memungkiri kalau bara api cinta dalam hati masih menyala. Tinggal siapa yang mau menyulut kapan api itu akan menyala. Kamu atau aku?

Selamat ulang tahun untukmu. Kulihat rona kebahagiaan di wajahmu meski aku tahu kita sebenarnya hanya berpura-pura saja dengan perasaan masing-masing atas nama profesionalisme. Ah, perempuan mana yang seperti aku yang mampu membendung ombak cinta yang datang bertubi-tubi menyapu hatiku seperti sekarang ini di depanmu Fer.

“Aku antarkan kamu ke gereja sekarang. Sudah waktunya untuk latihan kan?” Begitu katamu lalu menggandeng tanganku berjalan ke sepeda motormu yang bahkan sampai hari ini aku masih mengenali setiap erangan suaranya.

Lalu kamu menurunkanku di depan gereja. Sedikit basa basi seperti biasa dan kamu pergi. Aku hanya bisa memandangi punggungmu yang terbungkus jacket hitam, lalu menghilang di ujung jalan. Terbesit tanya di hatiku, harusnya kamu ngga pergi seperti ini Fer, harusnya kamu ada bersama aku di dalam sana. Ah, sudahlah. Aku tak punya otoritas atas pilihanmu mempertahankan imanmu yang menang atas nama cinta.

-----------------

Aku dan dia

“Gue takut ketika gue berusaha mengenal orang lain.” Begitu kataku saat mobil dia perlahan memasuki pelataran parkir. Dia bingung atas tanyaku, sebab beberapa hari ini aku dan dia terlalu banyak menguras emosi dengan ratusan pertanyaan dan argumentasi.

Dia merapikan posisi mobilnya lalu kami menuju sebuah restoran cepat saji, memesan burger dan ice cream yang sebenarnya aku pun malas untuk makan lagi karena alasan klasik, ukuran berat badan tak bisa aku kontrol lagi. Tapi kata dia beratku masih proporsional. Entahlah dari sudut mana dia menilai, karena bagiku, aku sudah terlalu gemuk. Problem perempuan pada umumnya.

Di pojok restoran aku dan dia memilih untuk menepi di sana, cukup sepi sehingga ada banyak waktu untuk mengudar rasa.

“Gue minta maaf.” Kata dia sambil memandangku dengan tatapan matanya yang tajam. Ini cara khas dia. Aku ingat persis gayanya.

“Gue tahu loo pria paling smart yang gue kenal, tapi untuk beberapa hari iniloo sepertinya kehilangan kepintaran loo sampai memperdebatkan hal-hal yang selama ini tidak perlu untuk dibesar-besarkan. Sebenarnya ada apa sih sama loo?”

Tatapan matanya masih tetap tajam. Mungkin dia sedang memikirkan argumentasi apa yang sedang disiapkan untuk membalas tanyaku karena aku tahu dia laki-laki cerdas yang selalu punya jawaban atas setiap tanya.

“Gue minta maaf sekali lagi, mungkin karena gue memakai perasaan gue yangterlalu jauh buat loo.” Ah, kali ini dia tidak memakai argumentasi yang terlalu formal, layaknya para pengacara di pengadilan. Menarik, karena dia memakai perasaan.

“Hati-hati sama perasaan loo, jangan terlalu dalam. Gue ngga tanggungjawab sama hal itu.” Kataku.

“Yaa, gue sadar, posisi gue ngga bisa menuntut lebih dari itu sama loo. Kondisi kita sudah salah. Tapi gue kan pernah bilang sama loo, perasaan gue ngga bisa ditipu kan?” Dia berusaha membela dirinya.

Aku salut, jujur sebenarnya kepintaran diayang terkadang membuatku tertarik. Tapi lagi-lagi aku diingatkan akan komitmenku sendiri. Aku ngga mau lagi jatuh kedua kali. Aku ngga mau menjalani sebuah kisah yang tak berujung. Aku tak mau melibatkan perasaanku terlalu dalam pada dia meski dari hati paling dalam sebenarnya ada kekaguman dan kenyamanan yang luar biasa kalau jalan sama dia. Untuk apa?

“Gue tahu loo bangun tembok tinggi-tinggi untuk membendung perasaan loo ke gue. Please, gue Cuma mo bilang, tanpa loo bikin itupun, gue bisa jaga itu karena gue tahu, hubungan kita ngga akan mungkin bisa ada statusnya. “ Dia terlihat berapi-api dengan penjelasannya. Aku salut, untuk keberaniannya karena untuk ukuran pria normal yang telah memilih bahtera hidup baru hal ini cukup gila untuk dilakukan meski aku tahu kehidupan bahteranya itu sedang terombang-ambing.

“Hey, loo bisa jamin kalo gue ngga membangun tembok perasaan gue ke loo?” Aku berusaha memberi argumentasi. Aku tak mau dia memenangkan perdebatan ini.

“Kenapa?” Tanya dia

“Karena gue orang yang ngga bisa menjaga perasaan gue kalau sudah terlanjur mencintai seseorang yang bisa bikin hidup gue itu berarti, tau siapa gue, kenal gue sampai sedetail-detailnya. Yaa, itu gue makanya gue batasi itu buat loo.” Kali ini dia bisa melihat api yang membara di kedua bola mataku.

“Menurut loo, gue dalam posisi itu? Yang bisa kenal loo dan ngerti loo?” Dia menghujamku dengan Tanya yang lain. Cukup telak memang.

“Yaa, loo orang yang ngerti gue, yang kenal gue. Tapi, please gue ngga mau jatuh untuk kedua kalinya di lobang yang sama. Untuk apa gue harus mencintai loo kalau ujung-ujungnya kita ngga akan bisa bersama juga karena kondisi yang salah?’ Sumpah, aku pengen nangis. Air yang sudah mulai merambat di tirai bulu mataku siap tercurah kapan saja. Tapi aku tahan. Aku ngga mau terlihat rapuh di depan dia.

Kami terdiam. Kami tak saling menatap. Mungkin memberi waktu sejenak untuk perasaan dan logika mempersiapkan diri.

“Aku sedang belajar mengenal orang lain.” Kataku dan dia terhenyak bagai petir di siang hari. Padahal aku tak ingin mengatakan ini.

“Oh yaaa? Siapa?” ini pertanyaan basa-basi dari dia yang sebenarnya menutupi keterkejutannya. Aku tahu. Tapi masa bodoh.

“Yang pasti bukan Ferry mantan gue.” Kataku begitu saja.

“Selamat….” Dia mengucapkan kata itu. Aku tahu itu terlalu getir baginya untuk dikatakan. Terlalu pahit. Terlalu sakit.

“Tapi sebenarnya gue takut…..” Kali ini aku berusaha jujur akan kegelisahan hatiku.

“Loo takut apa?”

“Gue takut kalau gue akan membanding-bandingkan orang ini sama sikap Ferry dan juga loo.” Gue takut…,” Kataku pasrah.

“Kenapa?”

“Yaa, gue takut aja, kalo gue ngga bisa melepaskan bayang-bayang loo dan Ferry. Hanya kalian berdua yang bisa ngerti gue sampai sejauh ini.”

Dia mendekatkan posisi tubuhnya semakin dekat denganku sampai desah nafasnya pun bisa aku rasakan. Dia meraih tanganku. Aku tahu dia peduli akan nasibku.

“Loo ingat kan komitmen gue mencintai loo meski gue tau loo ngga akan pernah jadi milik gue? Gue pengen loo bahagia. Gue pengen loo happy. Tapi please, gue cuma pengen satu hal dan gue ngga peduli siapapun pria itu di luar sana. Gue cuma pengen, pria itu lebih baik dari gue atau Ferry. Gue yakin Ferry pasti ngomong hal yang sama buat loo. Kalo pria itu ngga bisa ngasih apa-apa buat loo dan loo ngga feel better kayak sekarang, gue Cuma bilang loo ngga usah maksain kata hati loo.”

“I love you” Dia mengusap pipiku. Ah, kepalaku makin pening. Malam seperti berjalan sangat lamban bagai seorang kakek tua. Aku pengen pagi cepat datang menyapa, siapa tahu esok aku sudah hilang ingatan akan kisa getir ini. Barangkali. Aku berharap.

-----

Kamu menyapa aku pagi ini

“Hey, pagi. Handphoneku rusak nih, cari waktu temanin aku perbaiki yah.”

Dia menyapa aku pagi ini

“Good morning cantik. Everything okey? Have a nice day. Miss you so much.”

Dia yang lain menyapa aku pagi ini

“Ntar jadi kan bareng ke gereja? Mau ketemuan di mana?”

(Jakarta, Starbucks Coffee, Februari 2015)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline