I believe I can fly
I believe I can touch the sky
I think about it every night and day
Spread my wings and fly away
I believe I can soar
I see me running through that open door
I believe I can fly
I believe I can fly
I believe I can fly
Saya menyelesaikan refrain lagu I Believe I Can Fly dengan suara yang parau. Sejujurnya dada saya sesak. Bukan karena batuk atau radang tenggorokan. Saya menyanyikannya dengan melibatkan emosi. Air mata saya hampir tercurah sejak tadi tapi saya tahan. Saya tahu mas Andre yang duduk di samping saya sambil memainkan gitarnya memperhatikan wajah saya. Ia tahu bahwa saya menyanyikan lagu ini dengan melibatkan perasaan yang paling dalam.
Saya menyelesaikan nada terakhir dari dentingan piano di depan saya. Tidak ada tepuk tangan. Tidak ada pujian. Seperti lagu yang saya bawakan tadi, iringan musik malam ini seolah “fly” di setiap sudut ruangan cafe. Pergi dan hinggap ke hati para pengunjung cafe malam ini saya tidak dapat menduganya.
Seiring dengan nada terakhir dari dentingan piano pada jari-jari saya, mata saya pun berkaca-kaca. Saya tarik nafas dalam-dalam. Ah, saya laki-laki. Harusnya saya tegar. Harusnya saya kuat. Tapi perasaan ini tak dapat saya bendung seperti aliran sungai Yang Tse yang membelah daratan China.
“Keep strong brother.” Mas Andre menepuk pundakku. Ia paling senior di group band ini.
Satu persatu sahabat-sahabatku yang lain mendekatiku. Ryan si penabuh drum memelukku.
“God bless you kak.” Ujarnya. Angga hanya tersenyum melihatku sambil membetulkan posisi gitar bassnya.
“Thank’s guys.” Kataku sambil tersenyum kepada mereka sahabat-sahabat terbaikku.
Malam beranjak menua. Suasana cafe berangsut sepi seiring penampilan terakhir kami. Saya berjalan ke pojok cafe, mungkin segelas wine dapat menenangkanku. Lalu sekejap pandangan mataku seperti melihat sesosok perempuan yang duduk sendirian di meja nomor sembilan. Saya mengusap lagi mataku. Tidak mungkin saya bermimpi.
“Rina.....” Saya menyebut nama itu pelan. Seolah tidak percaya perempuan itu ada di sini. Saya berjalan menuju meja nomor sembilan. Perempuan itu duduk sambil menyilangkan kakinya. Dress merah maronnya sedikit bercahaya di bawah temaram lampu cafe yang pudar warnanya. Ia melambaikan tangannya dan memalingkan wajahnya padaku. Senyumannya mengalihkan segala sesuatu malam ini. Saya terkesima juga terkejut. Bagaimana mungkin?
“Hai hun....” ia menyapaku. Saya tahu hanya ia yang terbiasa menyapaku seperti ini.
“Sayang...kamu ngapain di sini?” Saya menggeser kursi dan mengambil posisi duduk berhadapan dengannya. Saya meraih tangannya dan mengusapnya perlahan. Rina paling suka saya membelai tangannya seperti ini.
“Perhatiin kamu nyanyi hun.. lagunya bagus. Tapi kenapa tadi suaramu mendadak parau di bagian akhirnya?”
Saya terpekur. Terdiam. Saya pandangi lagi wajah Rina. Dia tak mengubah aura wajahnya yang tersapu dengan samar oleh cahaya lampu cafe malam ini. Saya membelai pipinya. Tangannya membekap punggung genggamanku. Seolah tak mau melepaskannya begitu saja.
“Lagu itu buat kamu sayang, aku selalu mengingatmu.” Saya merasakan kehangatan yang dalam saat tangannya semakin rekat. Lalu punggung jemari saya juga terasa dingin. Dingin karena air. Ya, air mata kekasihku yang jatuh.
“Kamu janji, kamu tetap mencintaiku hun?”
“Untuk apa kamu mempertanyakan hal itu? Cintaku padamu tak akan lekang oleh waktu sekalipun.”
“Tapi kamu tetap berjanji bisa mempertahankan cinta kita kan?”
“Aku janji sayang.”
“Meskipun suatu saat aku nanti ngga ada?”
“Kamu ngomong apa sayang? Ngga, kamu tetap di sini denganku.” Saya beranjak memeluk Rina dengan erat. Mencium keningnya. Mengusap wajahnya. Membelai rambutnya. Menghapus air matanya.
“Kamu ngga akan ke mana-mana sayang. Kamu akan tetap bersamaku. Aku janji ngga akan meninggalkanmu.” Pintaku.
Kemudian Rina melepaskan dekapanku. Berdiri dan mengusap –usap wajahku. Tangannya semakin dingin. Bahkan lebih dingin dari udara malam ini. Mencium bibirku.
“Aku balik ya sayang. Jaga diri kamu.” Ia berjalan perlahan menjauhiku. Entah kenapa ada sesuatu yang sangat berat seolah menahan langkah kakiku. Saya hanya bisa berteriak sejadinya sambil melihatnya berjalan perlahan menuju pintu cafe. Ia menahan langkah kakinya untuk sementara dan memalingkan wajahnya padaku.
“I love you hun. Jangan kecewakan aku.”
“Rinaaaa, please.”
“Aku pamit ya hun.”
“Rinaaaa.....sayang....please....kamu mau ke mana sayang.”
Lalu saya hanya memandangi punggungnya yang perlahan menghilang di ujung pintu. Sunyi. Sepi tak berbekas.
------------------------
“Rinaaaaa.....rinaaaaaa.... kamu di mana sayang?”
Saya membuka mataku perlahan. Semuanya putih dan putih. Kepala saya seolah berputar. Saya pandangi sekali lagi langit-langit ruangan ini. Lagi-lagi putih dan putih.
“Di mana ini?” lirihku perlahan.
Lalu samar-samar saya melihat beberapa wajah. Ibu, Ayah, Ratih adikku, mas Andre, Ryan, Angga. Kenapa kalian semua ada di sini. Ada apa denganku?
Saya berusaha menggerakkan badanku. Tapi seperti mata rasa. Bahkan untuk menggerakkan kepalaku saja sakitnya minta ampun. Tanganku seperti dililit sesuatu. Bahkan saya tak bisa merasakan sesuatu di kakiku.
“Keep strong brother.” Mas Andre mengusap kepalaku.
“God bless you kak.” Angga berusaha menyalami tanganku di samping mas Andre.
“Rina.... Rina di mana?” Suaraku lirih. Lalu saya perhatikan wajah ibu yang terus mengeluarkan air mata. Tak henti-hentinya ia mengusap rambutku. Ayah hanya tertekun lesu di samping Ibu.
“Rina di mana bu?” pintaku.
“Sabar ya nak,....kuatkan hatimu ya nak.”
Ayah kemudian memeluk ibu. Saya menjadi bingung. Ada apa dengan ini semua? Saya memalingkan wajah saya ke sudut kamar putih ini. Lalu sekejap menjadi samar dan gelap.
----------
I believe I can fly
I believe I can touch the sky
I think about it every night and day
spread my wings and fly away
I believe I can soar
I see me running through that open door
I believe I can fly
I believe I can fly
I believe I can fly
Saya mengatur volume lagu dari dalam mobil. Alunan suara R.Kelly menyapu seisi mobil. Saya pandangi gedung-gedung di belantara ibu kota yang seolah bagai kunang-kunang raksasa menghias malam.
Kecepatan mobil mulai saya turunkan saat mulai keluar dari keramaian. Saya belok lagi dan menuju ke dalam terowongan. Ketika jalanan menanjak dan berbelok sekali lagi, mobil saya tepikan di pinggir jalan. Saya turun di kesepian malam. Saya nyalakan lilin dan berjalan perlahan beberapa langkah lalu perlahan saya menunduduk di sana. Meletakkan lilin itu di pinggir jalan.
“Selamat ulang tahun sayang, semoga kamu bahagia di sana.”
Mata saya kembali berkaca-kaca. Sekejap gerimis turun perlahan. Dingin yang saya rasakan bercampur asin air mataku yang mengalir pelan menuju ke ujung bibirku. Lalu saya berjalan perlahan kembali ke mobil. Meninggalkan kota ini dengan sejuta kenangan denganmu. Kenangan abadi bersamamu.
(Untuk seseorang yang pernah dan selalu abadi dalam kisah hidupku. Cintamu tak lekang oleh waktu. Jakarta, Supper Cup, hujan bulan Februari 2015)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H