Semakin bertambahnya usia, terkadang rasa kesepian menyerang. Teman-teman kita yang dulunya hampir setiap hari bersama, seakan-akan hilang tertelan bumi.
Mengobrol pun seperti sudah tidak nyambung lagi. Bahkan dengan hadirnya pasangan pun terkadang tidak menyembuhkan rasa sepi di dalam hati.
Orang-orang berubah, begitupun kita dan orang-orang terdekat kita. Perubahan perspektif, perasaan karena mendewasanya usia atau karena pengaruh lingkungan membuat seseorang memiliki value berbeda.
Ada kalanya kita menyadari rasa kesepian ini menganggu, namun seringnya rasa sepi tak mudah kita akui. Masalah kesepian ini seperti fenomena gunung es.
Orang-orang akan cenderung sulit untuk mengatakan jika mereka sedang mengalami kesepian dibanding menyatakan jika dirinya menjadi survivor mental illness.
Saat kita merasa tidak memiliki seseorang untuk diandalkan, ada emotional crisis yang muncul sehingga kita merasa tidak ada yang mengerti diri kita, alhasil kita merasa sendiri.
Ironisnya, perkembangan teknologi dewasa ini memudahkan manusia untuk saling terhubung satu sama lain namun ternyata kecanggihan teknologi bukan jaminan solusi masalah kesepian teratasi.
Semakin terbentuknya standar norma sosial dari media membuat orang mudah merasa tertekan untuk menyesuaikan sebuah hubungannya dengan orang lain.
Alhasil saat sebuah hubungan tidak dapat memberikan perasaan aman bagi diri kita, maka rasa kesepian pun muncul.
Ketidakpuasan hubungan interpersonal dipengaruhi oleh penolakan, unrealistic relationship expectation dan mispersepsi terhadap orang lain.