Warisan Budaya Takbenda
Budaya takbenda dikenal juga sebagai budaya hidup. Sejak tahun 2003 Indonesia telah meratifikasi Konvensi Perlindungan terhadap Warisan Budaya Takbenda atau Convention for the Safeguarding of Intangible Cultural Heritage dan disahkan melalui Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2007 tentang Pengesahan Convention for the Safeguarding of Intangible Cultural Heritage (Konvensi untuk Perlindungan Warisan Budaya Takbenda).
Mengacu pada konvesi UNESCO tahun 2003 tentang safeguarding of intangible cultural heritage, warisan budaya takbenda dapat dikelompokkan menjadi lima domain yaitu 1) tradisi lisan dan ekspresi; 2) seni pertunjukan; 3) adat istiadat masyarakat, ritual, dan perayaan-perayaan; 4) pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan semesta; dan/atau 5) keterampilan dan kemahiran kerajinan tradisional.
Pada tahun 2022 ini, Pemerintah Provinsi Jawa Barat menetapkan 37 warisan asli Jawa Barat sebagai warisan budaya takbenda. Warisan budaya takbenda ini mulai dari kesenian, upacara adat hingga makanan. Salah satu makanan yang masuk dalam daftar warisan budaya takbenda adalah empal gentong Cirebon. Empal gentong ini termasuk dalam domain keterampilan dan kemahiran kerajinan tradisional yaitu kuliner tradisional.
Empal Gentong Cirebon
Kuliner tradisional ini sudah sangat melegenda dan diperkirakan muncul pada abad ke-15. Empal gentong diyakini bukanlah makanan asli dari Cirebon. Empal Gentong merupakan makanan yang berasal dari Timur Tengah yang dibawa ke Cirebon dan disesuaikan dengan cita rasa Cirebon oleh para pendatang dari Arab dan sultan-sultan terdahulu.
Empal gentong berisi irisan daging serta jeroan sapi berkuah santan bumbu kuning. Dalam proses memasak, digunakan kayu bakar dan gentong yaitu wadah yang terbuat dari tanah liat. Pada jaman dahulu belum terdapat perkakas yang terbuat dari logam untuk keperluan memasak seperti panci, wajan dan sejenisnya. Sehingga, digunakan gentong sebagai wadah untuk merebus seluruh bahan, dan kemudian dikenal dengan empal gentong. Saat ini masih terdapat pedagang empal gentong yang mempertahankan penggunaan kayu bakar dan gentong, namun ada juga yang sudah beralih.
Mengutip pernyataan sejarawan kuliner Fadly Rahman bahwa empal gentong yang dinikmati saat ini dipengaruhi oleh budaya Arab, Jawa, India hingga Tionghoa. Perpaduan budaya Arab dan India dapat terlihat dari kuah empal gentong yang mirip seperti gulai. Bumbu-bumbu yang dipakai dalam empal gentong dipengaruhi budaya Tionghoa dan budaya masyarakat lokal Cirebon pada masa itu. Kemudian jeroan yang dipakai di empal gentong merupakan sentuhan kuliner Tionghoa, karena pada kuliner Tionghoa terdapat penggunaan jeroan dalam sup.
Pilihan untuk dapat menikmati empal gentong di Cirebon sangatlah beragam. Kuliner ini dapat ditemukan mulai dari pedagang gerobak kaki lima hingga restoran. Dengan adanya penetapan empal gentong sebagai warisan budaya takbenda menjadi suatu kebanggaan bagi masyarakat Cirebon. Oleh karena itu dibutuhkan komitmen Pemerintah Daerah di tingkat provinsi, kabupaten/kota, pemangku kepentingan di bidang kebudayaan, dan masyarakat untuk melestarikan secara turun temurun agar tidak punah. Hal ini juga berlaku bagi seluruh warisan budaya.
Empal gentong bukanlah sekedar kuliner tradisional Cirebon, namun dengan menyantapnya para pecinta kuliner juga dapat belajar tentang perpaduan budaya. Ini merupakan salah satu bentuk penguatan ketahanan budaya. Semangat ini kiranya juga diterapkan terhadap warisan budaya lainnya sehingga dapat mewujudkan pemajuan kebudayaan Indonesia.
Referensi:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2018). "Pengertian dan Domain Warisan Budaya Takbenda". warisanbudaya.kemendikbud.go.id. Diakses tanggal 14 Februari 2022.
Khairunnisa, S. N. (22 Mei 2021). "Sejarah Empal Gentong yang Mirip Gulai, Dulu Pakai Daging Kerbau". Kompas.com. Diakses tanggal 14 Februari 2022.