Saat Adzan Mahgrib mulai berkumandang, diiringi hujan rintik saya bersama seorang teman pergi menuju halaman GOR tempat diselenggarakan acara deklarasi pasangan calon gubernur dan wakil gubernur untuk pemilukada Kaltim 2013. Hujan tak berhenti malah semakin deras, sambil menunggu datangnya pasangan yang hendak mendeklarasikan diri,kami pergi berteduh di warung kopi. Lantaran hujan tak berhenti-henti, teman saya bilang kalau pawang hujannya kurang mujarab, atau mungkin sudah disuap oleh kandidat lain agar membiarkan hujan sehingga tak banyak orang yang datang di acara deklarasi itu.
Dan untuk ukuran sebuah acara yang mendatangkan band sekelas unggu dan penyanyi campur sari sekaliber Didi Kempot bisa dikatakan acara itu tak terlalu sukses dari sisi mendatangkan jumlah pengunjung. Sebagian mereka yang bertahan di tengah hujan yang terus menerus turun adalah pengunjung berseragam, anggota dari salah satu organisasi underbouw dari partai pendukung kandidat yang hendak mendeklarasikan diri.
Yang justru agak aneh adalah atribut dari partai pengusung yang utama justru tak terlalu kelihatan, pun demikian dengan massanya. Hampir tak terlihat secara mencolok kehadiran dari massa pendukung yang berasal dari partai utama yang mengusung pasangan calon yang mendeklarasikan diri itu.
Sebagaimana biasanya sebuah acara deklarasi, maka banyak puja-puji yang terlontarterhadap kandidat yang diusung untuk bertarung dalam pemilu kada. Seorang pengurus pusat dari partai pengusung yang utama memuji rakyat setinggi langit. Menurutnya suara rakyat adalah suara partai, mirip dengan kalimat vox populi, vox dei, suara rakyat suara Tuhan. Dan itu dibuktikan dengan memilih untuk mendukung calon yang berdasar seluruh survey menduduki peringkat teratas. Hasil survey dibaca sebagai suara rakyat yang menginginkan figur tertentu untuk memimpin daerahnya. Dan ini membuktikan yang disebut dengan suara rakyat adalah kesimpulan hasil survey menjelang pemilu atau pemilukada. Sementara suara-suara rakyat yang lain seperti yang terjadi dalam unjuk rasa, demo maupun protes tidaklah dianggap sebagai suara rakyat.
Tak lupa pula puji-pujian dihaturkan kepada Yang Maha Kuasa atas segala karunia dan berkahnya. Lalu diucapkan beberapa ayat-ayat suci, firman Tuhan untuk dipakai memperkuat apa yang menjadi pilihan partai itu. Intinya Tuhan mengatakan bahwa serahkan segala sesuatu pada ahlinya. Dan yang disebut sebagai ahli itu adalah sosok yang diusung oleh partai tersebut. Dia juga menyitir bahwa orang beriman adalah orang yang bersyukur pada nikmat dan karunia yang diberikan oleh Tuhan. Maka barangsiapa yang tidak memilih atau mendukung calon yang mereka usung seolah bukan orang beriman yang penuh syukur. Tidak bersyukur atas segala keberhasilan dan kesejahteraan yang diberikan oleh Tuhan melalui pemimpin daerah.
Akhirnya tibalah pujian pada kandidat yang diusung. Pujian pertama tentu saja keberhasilan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Maka jelas bahwa perhatian dari para partai pengusung adalah ekonomi. Kalau ekonomi baik tentu saja pasokan ke partai langsung atau tidak langsung juga baik. Atau sekurang-kurangnya mahar agar bisa diusung menjadi kandidat yang didukung oleh partai, harganya memuaskan.
Soal pertumbuhan ekonomi yang disebut selalu saja angka atau prosentase. Tak pernah diterangkan perihal sumbangan atau kontribusi sektor apa yang mendukung pertumbuhan itu. Jika diurai, pertumbuhan ekonomi yang dibanggakan itu ternyata berasal dari sektor tambang, perkebunan besar dan jasa serta kontruksi terkait dengan tambang dan perkebunan. Sayangnya yang dihitung adalah dampak positif dari kedua sektor itu yaitu pemasukan dan stimulus ekonomi yang muncul dari operasi kedua sektor itu. Namun dampak negatif atau kerugian dari operasi sektor itu tidak dihitung untuk kemudian disandingkan dengan angka keuntungan. Angka keuntungan yang dikurangi dengan angka kerugian itulah hasil yang sebenarnya. Jangan-jangan kalau dilakukan hal seperti itu hasilnya bukan plus melainkan minus.
Bukan rahasia lagi kalau sektor tambang dan perkebunan yang menopang ekonomi daerah maupun nasional itu adalah pembunuh ekonomi dan penghidupan masyarakat sekitarnya. Masyarakat kehilangan asset berharga yaitu alat produksi berupa hutan dan lahan-lahan produktif yang kemudian dicaplok oleh tambang dan perkebunan besar. Sadar atau tidak, dalam “Orasi Politik” saat deklarasi, sang kandidat mengaku ada banyak persoalan terkait tambang dan perkebunan. Banyak tumpang tindih lahan dan perijinan, ada banyak ijin yang dikeluarkan namun tidak ada aktifitas di lapangan, mungkin ijin itu hanya diperdagangkan. Dan memang banyak orang meminta ijin investasi namun tak melakukan investasi melainkan hanya mencari untung cepat dengan memperjualbelikan ijin itu. Akhirnya ijin hanya berpindah dari satu tangan ke tangan lainnya sementara lokasi atau lahan yang dikuasakan dari ijin itu dibiarkan begitu saja.
Pada giliran ‘Orasi Politik” kandidat, maka sang kandidat dengan gaya merendah mirip Pak Harto dulu yang malu-malu mengakui kalau ingin maju kembali. Caranya adalah dengan mengatakan bahwa dia maju bukan sekedar karena keinginan sendiri melainkan karena keinginan masyarakat banyak dan lagi-lagi itu ditemukan dan disimpulkan melalui survey. Intinya dia mau mengatakan bahwa majunya sebagai kandidat pemimpin daerah bukanlah ambisi pribadi melainkan respon atas amanah yang diberikan oleh rakyat.
Setelah merendah, giliran berikutnya adalah menghamburkan puji-pujian untuk prestasinya sendiri selama memimpin. Dan disebutkannya aneka penghargaan dari dalam dan luar negeri. Plus keberhasilan-keberhasilan pembangunan yang disebut sebagai best practise yang mendapat pengakuan dari para ahli, pengamat pembangunan dan politik juga dari dalam dan luar negeri. Padahal kalau dibaca dari hasil tim evaluasi pembangunan yang hasilnya telah dibukukan, semua program besar unggulan prosentase perkembangannya dari tahun ke tahun sangatlah kecil. Beberapa bahkan tidak bisa diberi keterangan yang memadai karena data perkembangannya tidak ada.
Setelah selesai memuji diri sendiri dan calon pasangannya, yang dikatakan mempunyai Chemistry yang kuat dengannya maka mulailah diumbar deretan janji. Janji pertama tentu saja akan bekerjasama secara erat dengan pasangannya. Dan janji yang sama itu diucap pada periode sebelumnya dengan calon pasangan yang kemudian menjadi wakilnya dan kini ditinggalkan. Dan kemudian janji-janji lain yang standar. Namun yang paling luar biasa adalah janji yang mengatakan bahwa Saya siap menerima kritik, kritik itu adalah penyemangat untuk bekerja semakin baik. Sebuah janji yang sangat berani mengingat sebagian besar watak pemimpin di Indonesia ini telinganya tipis, sehingga gampang meradang kalau menerima kritik.
Rangkaian janji itu semakin luar biasa disertai dengan penegasan “Tahun ini akan diwujudkan”. Tentu saja ini mengembirakan untuk para hadirin yang menimpali dengan sorak sorai, tepuk tangan, teriakan setuju yang mengaminkan. Dan terakhir bersama mereka berteriak “Menang..menang..menang..menang...menaaaaaaang”.
Hujan tidak deras, namun konsisten bertahan sehingga tak terasa baju di badan sudah basah, rasanya bahkan sudah menembus hingga celana dalam. Gambar terpenting sudah saya dapat dan acara selanjutnya tinggal hiburan yang menghadirkan artis campur sari Didi Kempot dan Band Ungu. Menarik juga, tapi karena badan sudah dingin saya mengajak teman untuk kembali ke warung kopi, tak jauh dari panggung bagian belakang sehingga sambil ngopi bisa mendengarkan alunan suara Didi Kempot dan Pasha Ungu.
Saat Pasha sudah menyanyikan beberapa lagu, saya lihat teman ikut berdendang, menikmati alunan melodi dan suaranya. Saya bilang padanya untuk pergi melihat di depan panggung saja. Namun dia menolak. “Saya lebih senang melihat Ariel”.
“Emang Ariel kenapa?”
“Suaranya lebih bagus, namun yang paling penting, saya patut berterimakasih pada Ariel sebab karena dia maka saya bisa lihat Luna Maya telanjang bulat”.
Sialan, gara-gara kata telanjang bulat itu maka saya harus cepat-cepat pulang. Rambut hingga badan yang basah kuyub harus segera dibawa telanjang di kamar mandi, disiram dengan air panas agar tak berkembang menjadi masuk angin dan sakit kepala. Maklumlah saya sudah mulai menua sehingga tak tahan lagi berbasah-basah, mandi air hujan.
Pondok Wiraguna, 13 Mei 2013
@yustinus_esha
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H