Salah satu pesan yang kuat disampaikan oleh berbagai pihak terkait dengan pemilu 2014 adalah seruan soal pemilu bersih, pemilu berkualitas, pemilu yang bebas dari politik uang. Kenapa? Karena dari pemilu ke pemilu aroma politik uang semakin marak. Politik uang bukan lagi ibarat kentut, yang hanya tercium baunya tapi tak kelihatan wujudnya.
Dengan kemajuan teknologi terjadilah konvergensi antar perangkat yang kemudian disatukan fungsinya dalam sebuah gadget. Sebut saja smartphone, sebuah alat yang menyatukan berbagai fungsi dalam satu genggaman. Dalam smartphone mulai dari yang termurah sampai yang termahal, semuanya mempunyai fungsi yang hampir sama.
Dalam smartphone selalu dicangkokan kemampuan untuk memotret layaknya digital camera, merekam gambar layaknya camera recorder, merekam suara setara dengan fungsi voice recorder dan kemampuan menjalankan tugas office, menulis, berhitung, presentasi sebagaimana laptop dan PC. Dan tentu saja yang paling penting adalah kemampuan untuk online terus menerus dengan membeli paket data.
Dengan alat kecil yang mumpuni berada di tangan maka seseorang dengan mudah melakukan aktifitas pendokumentasian dan kemudian membagi hasilnya kepada banyak orang lainnya. Dan hasilnya di media sosial dengan mudah ditemukan berbagai bukti bahwa aktifitas politik uang menjelang pemilu 2014 marak terjadi. Yang paling umum adalah pemberian barang atau materi terhadap masyarakat.
Pemberian yang umum adalah alat bantu untuk kegiatan yang bersifat keagamaan, baik kepada individu atau kelompok. Seorang kawan bercerita bahwa kini koleksi jilbab dan mukena ibunya bertambah secara drastis menjelang pemilu. Hampir setiap kali pulang pengajian, ibunya selalu membawa bingkisan yang dibungkus rapi dan disertai kartu nama, stiker atau brosur kandidat legislatif.
Karena hampir semua kandidat memberikan bingkisan, maka segala macam aktivitas yang bersifat karitatif menjelang pemilu dianggap sebagai hal yang biasa. Anak-anak yatim piatu yang belum memilih juga kerap menjadi sasaran ‘perbuatan baik’. Tujuannya jelas, selain investasi politik jangka panjang, kegiatan memberi sumbangan ke anak-anak yatim yang kemudian diberitakan akan mendongkak citra kandidat sebagai orang baik dan penuh perhatian kepada mereka yang berkekurangan.
Padahal kita semua pasti paham, bahwa dibalik niat baik itu tersembunyi tujuan langsung atau tidak langsung agar kelompok sasaran memberikan suara kepadanya. Permintaan untuk memberi dukungan suara tak perlu disampaikan secara langsung, sebab dengan mengatakan bahwa dirinya adalah calon anggota legislatif dan kemudian menyebutkan nama serta nomor urutnya, maka orang yang mendengarkan sudah paham bahwa orang itu minta dicoblos pada saat pemilu nanti.
Pemunggutan suara dalam pemilu bisa diibaratkan sebagai pasar. Para kandidat adalah pembeli suara, sementara masyarakat adalah penjualnya. Namun proses jual beli sesungguhnya sudah berlangsung lama. Kandidat telah merayu suara pemilih sejak jauh-jauh hari. Pasar selalu mempunyai dua sisi, legal dan illegal.
Disebut illegal atau pasar gelap apabila transaksi untuk meraup suara berupa pertukaran antara dukungan pemilih (suara) dengan materi atau jasa tertentu yang berasal dari kandidat. Sementara pasar disebut legal apabila suara pemilih ditukar dengan visi, misi dan program kandidat atau partai. Singkatnya pemilih memberi dukungan karena pengenalan atas komitment partai atau kandidat untuk menjawab kebutuhan masyarakat lewat fungsi dan kedudukannya nanti.
Pertukaran suara dengan barang atau jasa, disebut sebagai vote buying atau jual beli suara. Dan aktivitas semacam ini termasuk dalam kategori pelanggaran pemilu, bahkan bisa menjadi pidana pemilu yang mengakibatkan seseorang yang terpilih bisa dibatalkan kedudukannya apabila dinyatakan oleh pengadilan lewat keputusan hukum yang sudah tetap.
Namun sekali lagi, meski banyak yang melakukan namun tak banyak kasus vote buying ini ditangani oleh pihak yang berwajib. Masyarakatpun enggan melaporkan karena kerap memandang bahwa pemberian dari orang lain tak boleh ditolak. Pemberian atau hadiah kerap dianggap sebagai amanah yang harus diterima.