Belum lama ini ada berita seorang perempuan dibunuh paman dan kemenakannya. Usut punya usut ternyata perempuan dan laki-laki pembunuh itu berkenalan di facebook. Mereka ketemu dan laki-laki itu berniat pinjam uang tapi tak diberi lalu murka dan membunuh perempuan itu. Jasadnya ditinggal di dalam mobil sang perempuan itu sendiri.
Kabar kejahatan, penipuan dan tindak kriminal lainnya yang dimulai dari perkenalan di facebook tidak sedikit jumlahnya. Yang paling banyak tentu saja penipuan dengan aneka modusnya. Di facebook misalnya banyak tawaran barang elektronik yang wah, namun dengan harga murah. Tawaran yang membuat banyak orang kehilangan akal sehatnya dan percaya begitu saja hingga berani mentransfer sejumlah uang yang tentu saja akan terbang melayang.
Salah satu efek dari globalisasi adalah gombalisasi, tawaran-tawaran yang mengiurkan di dunia maya. Bukan sekali dua kali model atau sistem investasi berbasis internet menjadi booming di masyarakat, lagi-lagi mereka yang berniat cepat kaya namun kurang memakai akal sehatnya menjadi korban. Ironisnya tentu saja yang menjadi korban adalah orang-orang terpelajar yang seharusnya berpikir logis.
Kini banyak partai dan peserta pemilu juga melirik internet sebagai media untuk memperkenalkan diri, kiprah, visi misi dan juga program-programnya. Sayang memang yang serius menggarap politik lewat internet jumlahnya belum begitu banyak. Internet dengan segala kemampuan dan aplikasi yang bisa dimanfaatkan kebanyakan baru dipakai sambil lalu saja.
Padahal internet terutama melalui sosial media bisa menjadi alat yang efektif untuk menjangkau para pemilih terutama di perkotaan yang infrastruktur TIK sudah cukup memadai. Kini untuk mengakses internet orang tak perlu lagi ke warnet atau memasang sambungan internet ke rumahnya. Cukup bermodal gadget dan berlangganan paket data, internet bisa diakses di mana saja. Jika tidak mempunyai paket data cukup datang ke tempat-tempat tertentu yang menyediakan layanan internet nirkabel.
Berdasarkan sebuah survey, pemakai gadget yang disebut sebagai smartphone kebanyakan adalah kaum muda, orang-orang yang kritis dan dinamis. Mereka inilah yang kemudian juga sering kali tidak menggunakan hak pilih dan bersikap apatis terhadap pemilu. Kelompok orang muda pemakai gadget ini jumlahnya cukup besar dan untuk menjangkau mereka tidak diperlukan biaya besar misalnya dengan blusukan, pertemuan massal di tempat umum dengan hiburan dangdut heboh, pasar murah, pengobatan gratis dan lain sebagainya.
Komunikasi melalui media sosial memenuhi syarat untuk terciptanya komunikasi yang efektif, partisipatif, interaktif serta berkemampuan merubah. Moda komunikasi ini akan jauh lebih murah ketimbang bentuk pertemuan-pertemuan langsung, seperti kampanye yang jelas tidak interaktif dan hanya mampu menebarkan slogan dan teriakan-teriakan pembangkit semangat yang tak jelas juntrungannya. Atau pertemuan-pertemuan dadakan lewat blusukan yang membuat partai atau kandidatnya menjadi mudah mengobral janji alias ngombal.
Komunikasi melalui sosial media akan menghilangkan gap psikologis, yang membuat orang akan merasa dalam kondisi setara saat berkomunikasi. Presiden, gubernur, bupati, walikota, ketua atau pembesar partai bisa dengan cepat didebat andai menyatakan sesuatu yang memancing tanggapan dari followernya di twitter. Pun jika pernyataan atau gagasan mereka menarik maka dengan cepat juga akan di retwet, sehingga tersebar dan membentuk lingkaran informasi yang lebih besar. Jadi dampak pusaran informasi di internet, melalui twitter misalnya bisa berefek bak bola salju, terus mengelinding dan makin membesar.
Saya menduga dan sebetulnya juga mulai menemukan adanya pemanfaatan TIK untuk berkampanye sesaat setelah memasuki masa tenang, dimana kampanye offline mulai dilarang. Sebenarnya kampanye online juga dilarang, namun pasti akan mudah melanggarnya karena sulit untuk dibendung mengingat penjaga dan pemantaunya amat terbatas.
Ajakan untuk memilih partai tertentu kini banyak beredar lewat berbagai moda saluran komunikasi. Apakah ajakan itu akan efektif?. Menurut saya tidak, karena komunikasi baik offline maupun online tetap saja butuh continuum atau tahapan sehingga komunikasi itu akan bermakna. Komunikasi yang ujug-ujug hanya akan dianggap sebagai omong kosong alias gombalisasi di jaman globalisasi. Jadi untuk para kandidat, peserta pemilu yang ingin nyolong waktu dengan kampanye lewat internet di masa tenang ini, lebih urungkan saja. Gunakan waktu anda untuk berdoa memohon pertolongan terakhir dari Sang Maha Kuasa.
Pondok Wiraguna, 6 April 2014
@yustinus_esha