Lihat ke Halaman Asli

Catatan Paska Pencoblosan 02: Start-nya Niat, Finish-nya Melarat

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dari pemberitaan saya membaca ada seorang caleg yang perolehan suaranya jeblok meminta kembali uang yang telah diberikan kepada orang-orang yang disangka akan memilih dirinya. Lalu ada SMS dari kawan yang mengabarkan bahwa posko pemenangan dari dua caleg dari partai yang berbeda didemo oleh massa. Konon pangkal soalnya adalah pemilih yang dijanjikan akan mendapat uang setelah mencoblos ternyata tak kunjung direalisasikan.

Kisah itu hanya sedikit dari deret kisah yang menjelaskan bahwa dalam pemilu 2014 praktek politik uang semakin marak. Seorang fungsionaris partai ternama, dengan tegas menyatakan bahwa mereka yang membayarlah yang suaranya kelihatan di tiap TPS. Dan jumlah uang yang dikeluarkan sungguh tidak main-main, katanya sambil menyebutkan jumlah dalam hitungan M.

Untuk mereka yang terlanjur kaya atau punya penyokong dalam pencalonan, mungkin uang tidak terlalu masalah. Tapi tidak sedikit dari para caleg yang menghambur uang, ternyata bukan hanya menggali simpanan, melainkan juga menjual tanah, kendaraan dan kekayaan lainnya.

Buat saya apapun ceritanya, menjadi caleg adalah niat yang mulia, karena mengajukan diri untuk menjadi wakil rakyat yang jenisnya macam-macam. Namun niat mulia itu berhadapan dengan realita persaingan. Mandat rakyat hanya akan didapat melalui kompetisi. Persaingan bukan hanya terjadi antar partai, melainkan juga antar individu di dalam partai.

Tingkat persaingan yang ketat tentu saja akan menimbulkan upaya-upaya untuk memperoleh kepastian akan memperoleh suara. Cara yang ideal adalah menarik perhatian pemilih, menimbulkan kepercayaan pemilih terhadap kandidat lewat visi, misi dan program. Tapi cara-cara seperti itu butuh waktu yang lama, kampanye politik yang panjang, sementara kampanye pemilu waktunya sangat terbatas.

Dalam waktu yang terbatas itu maka kepercayaan dari pemilih harus ditimbulkan dengan cara yang instan. Seseorang harus dianggap oleh masyarakat sebagai orang yang punya perhatian pada masyarakat dalam waktu yang cepat, maka mau tak mau harus rajin berkunjung, menemui warga seraya membagi sesuatu. Di mata masyarakat seseorang akan dianggap baik apabila rajin membantu dan gemar berbagi.

Maka untuk menjadi orang baik di mata masyarakat butuh dana yang besar. Uang tunai yang siap untuk dibagikan dalam berbagai macam bentuk. Mereka yang bertahan tidak berbagi dan memberi untuk masyarakat menjadi gugup melihat sepak terjang caleg lainnya yang gemar berbagi. Maka mau tak mau pola itu diikuti meski jenis dan jumlah yang dibagikan menjadi bervariasi.

Tentu saja tidak semua caleg mempunyai persiapan dana untuk berbagi. Dan tak banyak pula caleg yang mampu menarik perhatian sponsor atau donatur yang berbaik hati untuk membiayai aktivitas politiknya. Dengan demikian tak ada cara lain selain meminjam, menjual atau menggadai sesuatu yang berharga yang dimilikinya.

Sayangnya memberi materi atau uang kepada pemilih tidak selalu menjadi jaminan bahwa suara orang itu akan menjadi milik sang caleg. Pasalnya potensi suara mesti terus dikawal, karena selalu ada upaya dari caleg lain untuk merebutnya. Upaya untuk memilihara dan mengawal potensi suara tentu saja butuh sumberdaya yang tidak sedikit. Caleg mesti mempunyai tim yang melakukan monitoring secara terus menerus akan apa yang ditanam tidak menguat begitu saja.

Dan hasil pemunggutan suara pada 9 April 2014, membuktikan bahwa banyak caleg yang mengeluarkan uang dalam jumlah fantastis tapi perolehan suaranya tidak significant atau bahkan mengecewakan. Apa yang diawali dengan niat baik ternyata menghasilkan derita. Proses pencalegan hanya membuat terkuras harta dan kekayaannya. Maka tak salah apabila dikatakan Start-nya Niat, Finish-nya Melarat.

Pondok Wiraguna, 11 April 2014

@yustinus_esha

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline