Lihat ke Halaman Asli

Catatan Paska Rekapitulasi 07 : Reformasi Partai

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hari ini sudah hampir 20 hari setelah pencoblosan pemilu legislatif 2014. Namun saya masih saja selalu bertanya kepada orang yang saya temui dengan pertanyaan apakah mencoblos pada tanggal 9 April yang lalu. Sebagian besar mengatakan iya, namun tak sedikit pula yang mengatakan tidak. Untuk mereka yang mengatakan tidak, akan saya kejar dengan pertanyaan lanjutan mengapa tidak mencoblos?.

Ada yang menjawab lupa, nggak bangun, nda tahu mau mencoblos siapa. Namun tak sedikit yang mengatakan kalau dirinya tidak mencoblos karena tidak ada yang memberi uang. Beberapa mengatakan sambil bergurau dengan menyebut sampai hari terakhir tidak ada gangguan. Yang dimaksud dengan gangguan tentu saja kedatangan tim sukses ke rumahnya sambil membawa amplop.

Memang banyak yang mengatakan pemilu 2014 tambah bobrok. Dipenuhi dengan politik uang, suap pada panitia penyelenggara mulai dari yang teratas sampai yang terbawah. Seorang teman politisi yang akhirnya duduk di kursi perwakilan yang terhormat bahkan mengakui kalau sebagian suaranya diperoleh dengan cara memobilisasi pemilih siluman. Caranya dengan membekali tim pemenangnya segepok uang untuk kemudian menemui para ketua RT guna membeli form undangan untuk memilih. Berbekal undangan itu maka pemilih siluman dengan leluasa melakukan pencoblosan di TPS.

Saking bobroknya pelaksanaan pemilu 2014, dalam sebuah acara talkshow di TV ada seseorang yang meminta agar hasil pemilu 2014 dibekukan. Rekapitulasi yang telah sampai KPU Nasional dihentikan, untuk kemudian dimulai perhitungan kembali. Entah nalar apa yang merasuki orang itu, namun perhitungan kembali kertas suara tentu saja berpotensi untuk menimbulkan keributan besar. Sebab tak ada jaminan bahwa kertas suara tidak diotak-atik. Di Papua sana bahkan ada ketua KPU yang kabur dengan membawa kertas suara.

Seorang kawan yang arif bijaksana mengatakan “Sudahlah, apapun proses dan hasilnya kita terima saja hasil pemilu 2014. Kalau ada pelanggaran yang dilaporkan, proses sesuai dengan hukum yang berlaku sembari kita menarik pelajaran dari pemilu legislatif 2014 ini agar tak terjadi di pilpres nanti dan pemilu berikutnya”. Kemudian kawan itu menambahkan lagi “Untuk membuat pemilu berkualitas, kita butuh partai dan calon legislatif yang berkualitas pula. Maka perlu reformasi partai”.

Benar juga, reformasi partai. Kita jarang menyebut-nyebut soal reformasi partai. Yang sering muncul di permukaan justru reformasi birokrasi. Dan RB bagaimanapun hasilnya diakui atau tidak memang menjadi prioritas pemerintah baik nasional maupun daerah. Sementara itu partai sebagai salah satu pilar demokrasi justru tenang-tenang saja. Mungkin partai-partai merasa bahwa mereka adalah produk reformasi jadi sudah reformis.

Kenapa reformasi partai mendesak untuk dilakukan?. Praktek politik yang buruk tentu saja cermin pada pendidikan politik dan mesin politik tidak bekerja dengan semestinya. Nah siapa yang paling bertanggungjawab terhadap hal ini, tentu saja partai politik. Karena partai politik adalah organ yang paling konstitusional untuk melakukan pendidikan politik di negeri ini.

Dengan sistem pemilihan langsung untuk anggota legislatif, kepala negara, kepala daerah dan fit and proper untuk pejabat-pejabat tinggi negara, badan usaha negara, komisioner dan lain sebagainya di hadapan anggota legislatif maka pengaruh partai sangat significant pada kehidupan berpolitik di negeri ini.

Partai adalah filter pertama untuk menentukan apakah pelaku dan produk politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara akan berkualitas atau tidak. Dan pemilu 2014 menunjukkan partai bukanlah filter melainkan jala. Yang menjaring entah ikan dari mana saja tak peduli enak atau beracun untuk disusun menjadi daftar calon tetap yang ditawarkan kepada publik untuk dipilih dalam pemilu 2014.

Kebanyakan partai tidak mampu menghasilkan politisi handal, mereka lebih berhasil mencetak politikus licin yang pandai berkelit dari kesalahan atau bahkan pelanggaran yang seharusnya punya konsekwensi hukum. Dalam urusan politisi perempuan, partai juga belum mampu mencetak kader politisi perempuan yang mumpuni. Kebanyakan anggota legislatif perempuan yang terpilih ternyata punya hubungan dengan elit politik tertentu, misalnya istri/anak/menantu  bupati, walikota, anggota dewan, pejabat pemerintah dan lain sebagainya.

Jadi kalau ingin pemilu yang berkualitas maka partai mesti berbenah habis-habisan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline