Lihat ke Halaman Asli

Dolly, dari Wisma ke Ruko

Diperbarui: 23 Juni 2015   21:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Cerita tentang ujung jari anak-anak yang gosong saya dengar 18 tahun yang lampau kala menimba ilmu untuk melakukan outreaching pendidikan dan pencegahan HIV/AIDS di Yayasan Hotline Surya Surabaya. Konon, PSK yang usur mulai melayani keingintahuan anak-anak laki-laki terhadap organ vital lawan jenisnya. Dengan modal ratusan rupiah anak-anak diperkenankan menonton kepunyaan PSK dengan alat bantu korek api kayu. Sekali bayar durasinya selama nyala korek api tersebut, alhasil demi mempertahankan durasi, anak-anakpun tetap memegang korek api meski nyala telah menyentuh tangannya.

Jadi kisah atau cerita tentang PSK tua yang melayani keinginan anak-anak bukanlah cerita baru. Dan sejauh pengetahuan saya saat itu, kisah ini bukanlah terjadi di Gang Dolly melainkan di kompleks pekuburan Kembang Kuning, yang letaknya memang tak jauh dari Gang Dolly. Yang disebut sebagai Gang Dolly menurut seorang pekerja Outreach di Yayasan Hotline Surya adalah sebuah gang. Dari sebuah majalah saya juga membaca, asal muasalnya disebut sebagai Gang Dolly berasal dari nama seorang perempuan yang memulai bisnis rumah bordil disana, yang dikenal sebagai Tante Dolly. Disamping Gang Dolly dikenal pula Gang Besar atau Jarak yang letaknya berdampingan namun mempunyai karaktek yang berbeda dengan Gang Dolly.

Dolly menjadi monumental karena sepanjang kanan kiri jalan berderet wisma dengan kaca lebar seolah-olah sebagai etalase bagi perempuan pekerja seks yang duduk berderet di sofa. Lampu dalam ruang tamu seperti lampu akuarium membuat mereka yang duduk dan tersorot oleh lampu itu menjadi lebih indah dari tampilan sebenarnya. Tarif di Dolly juga sudah pasti plus aturan lain seperti tambah biaya jika ingin mengabadikan dalam bentuk foto atau rekaman video.

Sementara di Gang Besar, wisma berbentuk rumah biasa. Rumah yang menyediakan PSK akan diberi tulisan Wisma dengan nama tertentu, sementara yang tidak akan diberi tulisan Rumah Tangga. Di wisma-wisma itu para PSK biasanya akan ‘teklek’, duduk-duduk di depan rumah untuk menunggu pelanggan, menyapa laki-laki yang lewat untuk mampir.

Lain pula cerita di Kembang Kuning, dimana PSK-PSK usur beroperasi. Mereka berada di kegelapan, kalaupun ada terang itu adalah lampu di tiang listrik jalanan. Mereka duduk-duduk di kompleks pekuburan menunggu lelaki dan mungkin anak-anak yang mempunyai keberanian menembus kegelapan.

Muncul kabar dan rencana bahwa Dolly akan ditutup. Apakah yang dimaksud dengan kompleks Dolly itu adalah Gang Dolly, Gang Besar dan juga Kembang Kuning?. Kalau hanya Gang Dolly yang dimaksud maka sebenarnya tidak mengatasi masalah sebenarnya, soal anak-anak yang memanfaatkan jasa PSK untuk menyalurkan keingintahuan dan belajar soal seks.

Lepas dari segala macam kontroversi baik yang pro maupun kontra. Andai kemudian Dolly berhasil ditutup, mereka yang pro penutupan tak perlu merayakan kemenangan. Apapun itu penutupan sebuah kawasan ‘peng-lacuran’ tidak mengurangi apa-apa. Lokalisasi dengan deretan wisma atau rumah bordil seperti Dolly mungkin memang sudah sepantasnya ditutup, karena memang sungguh-sungguh mengundang. Ibaratnya memamerkan sesuatu yang tidak pantas di ruang publik.

Model layanan jasa seksual semacam Dolly di Surabaya, Sarkem di Yogya, Saritem di Bandung dan lain-lainnya mungkin akan segera tergilas oleh jaman. Diganti dengan jenis layanan yang lebih dalam bentuk lainnya. Entah di Kota lain, tapi di Jakarta misalnya tak perlu lagi pergi ke kompleks lokalisasi melainkan pergi saja ke hotel yang bertajuk club atau spa yang pada dasarnya tak lain dan tak bukan adalah rumah bordil. Di beberapa kawasan Jakarta, banyak ruko yang disulap menjadi Bar & Massage yang ternyata beroperasi sebagai rumah bordil.

Tempat-tempat seperti itu beroperasi sejak jam 12 siang, namun biasanya mulai jam 3sore, personelnya sudah lengkap hingga jam 3 pagi. Tempat-tempat seperti itu dari luar tidak akan terlalu mencolok, yang menonjol dibandingkan dengan ruko lainnya hanya neon signnya saja dan keramaian di malam hari. Dari luar tidak nampak apa-apa kecuali saat pintu terbuka saat orang masuk maka akan terdengar dentuman musik jedag jedug. Musik itu pada jam tertentu dimainkan oleh DJ guna mengiringi sexy dancer beraksi di atas panggung kecil memamerkan liukan dan juga lekukan tubuhnya. Dan jangan salah walau nampak dari luar bangunannya seperti ruko, namun masing-masing tempat itu bisa menampung seratusan perempuan yang siap menemani di kamar-kamar yang berada di lantai 2, 3 atau 4.

Belajar dari realitas itu, barangkali nanti penutupan Dolly bukan hanya disyukuri oleh kaum baik dan saleh, namun juga ditunggu oleh pebisnis baru, maupun pebisnis lama yang ingin memperbaharui usahanya dalam bentuk yang lebih maju. Atau sebenarnya ruko-ruko yang tak lain adalah rumah bordil juga sudah tumbuh di Surabaya?. Sebab di tahun 1996, saya sudah menemukan rumah makan tetap buka diatas jam 12 malam namun kemudian berubah layanannya, tak lagi memfokuskan pada makanan melainkan minuman keras, seingat saya bir hitam jumbo sambil menyajikan tarian seksi. Saat itu penarinya tunggal, meliuk perlahan-lahan sambil mulai membuka satu persatu BH dan Celana Dalam yang ternyata bertumpuk. Penampilan penari itu sepanjang 8 lagu.

Saya yakin selama 10 tahun lebih perkembangannya sudah semakin dahsyat dan tempat semacam Dolly sebenarnya tak lagi menarik atau bahkan kemudian tertinggal. Jadi kalau kemudian Dolly ditutup, maka tak akan merubah banyak wajah Surabaya hingga kemudian lebih saleh. Dengan perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi, kini banyak pula pekerja seksual komersil beroperasi dengan modal gadget. Tak perlu lagi nongkrong, berderet duduk di sofa menunggu pelanggan, cukup menunggu di kamar kost atau bahkan apartemen sambil menunggu panggilan atau menanti pelanggannya datang.

Dan dunia industri seksual yang tersembunyi semacam ini luput serta tak tersentuh oleh pengambil kebijakan dan juga kelompok-kelompok moralis yang gemar melakukan pengerebekan. Jadi jangan dulu menepuk dada karena bangga bisa menutup lokalisasi karena masalah sebenarnya bukan disitu.

Pondok Wiraguna, 28 Mei 2014

@yustinus_esha

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline