Lihat ke Halaman Asli

Musim Fitnah dan Hujat Menghujat

Diperbarui: 18 Juni 2015   08:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sewaktu kecil dahulu, meski tidak secara khusus saya diajari tentang titi dan toto mongso. Nama bulan itu mencerminkan musim atau kondisi cuaca umum. Januari misalnya diartikan sebagai hujan sehari hari, Maret itu artinya mak bleret, kondisi umumnya adalah penuh mendung, dan April berarti hujan turun sedikit sedikit, rintik kecil saja.  September berarti masa paling kering – asate sumber. Dan tak lama lagi memasuki bulan November yang berarti anome sumber, hujan mulai turun dan berpuncak pada Desember, yang berarti derese sumber, saat air hujan turun deras-derasnya.

Dalam pelajaran di sekolah saya diberi pengetahuan bahwa musim di Indonesia hanya dua yaitu musim hujan dan musim kemarau. Berbeda dengan benua Eropa yang mempunyai 4 iklim. Namun sebenarnya sebutan musim tidak sekedar hanya untuk urusan iklim atau cuaca. Musim kerap diartikan sebagai saat dimana sesuatu sedang banyak-banyaknya. Misalnya musim mangga, musim rambutan, musim duku, musim laron dan seterusnya. Musim juga dikenakan pada saat dimana permainan tertentu sedang diminati, sehingga ada sebutan musim layangan, musim kelereng, musim tulup. Tak jarang ketika banyak orang menikah maka akan disebut pula sebagai musim kawin, kalau banyak orang mati maka disebut musim kematian.

Masih ada musim yang datang secara berkala, 5 tahun sekali. Musim itu adalah musim kampanye. Siklus pergantian kekuasaan akan berlangsung setiap 5 tahun sekali. Namun di daerah tertentu siklus 5 tahunan itu bisa jadi dialami oleh seseorang dalam 3 tahun berturutan. Ini dimungkinkan karena pemilu bukan hanya untuk memilih anggota legislatif, perwakilan daerah dan presiden melain juga gubernur dan walikota atau bupati.

Saya yang tinggal di Samarinda Kalimantan Timur, pada tahun 2013 mengikuti pemilu untuk memilih gubernur, lalu 2014 memilih anggota legislatif, perwakilan daerah dan presiden dan nanti di tahun 2015 akan mengikuti pemilihan walikota. Maka dalam 3 tahun itu kota Samarinda akan selalu berada dalam musim kampanye.

Kampanye adalah sebuah usaha untuk memperkenalkan sesuatu kepada khalayak agar kemudian yang terpapar dengan informasi akan menjatuhkan pilihan pada yang dikampanyekan. Maka bisa dipastikan sesuatu itu akan digambarkan sebagai istimewa, hebat, positif baik pada dirinya sendiri maupun ketika diperbandingkan dengan saingannya.

Masa kampanye yang panjang kerap kali membuat sang pengkampanye kehabisan bahan, sehingga mengalihkan upaya penyebaran informasi dengan cara mengaduk-aduk kelemahan atau sesuatu yang dikonstruksi sebagai kekurangan dari lawan atau saingannya.

Aktivitas kampanye semacam ini yang kemudian menimbulkan istilah kampanye negatif, kampanye hitam, kampanye kotor dan kampanye jahat. Bahwa setiap entitas mempunyai kekurangan itu adalah sesuatu yang pasti dan biasa. Namun kerap kali yang terjadi dalam kampanye, entitas itu seolah tak punya satupun kebaikan, yang ada hanyalah keburukan. Keburukan bukan hanya karena sejarah masa lalu entitas itu, melainkan juga nenek moyang, lingkungan dimana entitas itu berada dan seterusnya.

Suatu ketika di linimasa saya muncul kicauan “Berhenti sudah copras-capres, ini waktunya sepak bola woy”. Kicauan kejengkelan semacam itu banyak muncul di wall account sosial media. Banyak orang bosan  dengan perbincangan tentang calon presiden yang penuh dengan sumpah serapah, hujatan, fitnah dan rangkaian kebohongan yang diarahkan pada capres tertentu.

Seorang kawan mengatakan masih bisa menerima jika sebuah media kurang berimbang dalam memberitakan sesuatu. Hanya saja menurutnya pada musim kampanye ini kebanyakan bukan hanya tidak berimbang melainkan sengaja berbohong. Mewartakan informasi yang bukan berdasarkan atas fakta, melainkan opini, dugaan, kecurigaan yang kemudian dikontruksi seolah-olah menjadi fakta.

Seorang pengamat sosial media terkemuka mengungkapkan bahaya yang mungkin timbul di kalangan pemakai sosial media. Informasi yang penuh hujatan, fitnah dan kebohongan atas dua pasangan calon presiden, justru akan menyebabkan demoralisasi demokrasi. Netizen kemudian akan jatuh dalam apatisme lewat kesimpulan bahwa tak ada calon presiden atau wakil presiden yang benar-benar baik, hingga kemudian mereka memutuskan untuk tidak memilih.

Demokrasi akan kuat dan matang seiring dengan tingkat partisipasi warga yang didasari atas pengetahuan dan pemahaman yang cukup dalam menentukan pilihan. Jika ini tidak tercapai maka legitimasi mereka yang terpilih tidak akan kuat. Seseorang kemudian bisa saja menjadi penguasa, kepala pemerintahan namun tak akan membawa harapan perubahan dalam benak dan hati warganya.

Merebut hati rakyat, membangkitkan harapan dalam setiap nurani warga bangsa tidak bisa dibangun dalam waktu yang sesaat apalagi dengan cara-cara yang tidak bermartabat. Jadi jangan jadikan masa kampanye sebagai musim fitnah dan hujat menghujat.

Pondok Wiraguna, 27 Juni 2014

@yustinus_esha




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline