Lihat ke Halaman Asli

Indonesia Berhitung Cepat

Diperbarui: 18 Juni 2015   06:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Televisi terbukti semakin hari semakin ajaib. Tabung bergambar yang sekarang semakin tipis karena teknologi LCD dan kemudian LED ini semakin menjadi rujukan pengetahuan, persepsi, sikap dan perilaku masyarakat pemirsanya.

Anak saya yang tak tahu apa-apa soal sepakbola, saat ditanya siapa tim yang didukung dalam piala dunia menjawab dengan tegas “Korea Selatan”. Saat dikatakan kalau Korea Selatan sudah pulang, diapun tetap menjawab “Pokoknya Korea Selatan”. Bisa diduga, preferensi anak saya yang baru mau masuk kelas tiga SD Senin depan itu adalah K-Pop yang populer lewat televisi.

Memasuki tahun 2014, yang kerap disebut dengan tahun politik, Televisi semakin ajaib. Elit dan tokoh politik di Indonesia kebanyakan berafiliasi atau bahkan memiliki saluran media penyiaran televisi, entah stasiun tunggal maupun yang telah beranak pinak dalam sebuah group.

Sejak awal tahun layar televisi telah dihiasi dengan berbagai macam acara yang dimaksudkan sebagai iklan politik. Bertabur sosok tertentu yang mewartakan atau diwartakan hendak menjadi presiden atau wakil presiden RI.

Meski badan yang berwenang untuk menyelenggarakan pemilu melarang kampanye prematur, stasiun televisi tidak kekurangan akal untuk menyiarkan tayangan yang bisa dikategorikan sebagai “Kacong” alias kampanye colongan. Bentuknya bisa berita kunjungan sosok tertentu untuk memberikan bantuan sosial misalnya. Atau nebeng hadir dalam acara-acara tertentu yang ratingnya tinggi, seperti kontes idol-idolan. Ada juga yang menjadi bintang dalam acara reality show plus quiz-quiz yang menabur hadiah.

Hingga pemilu legislatif berlalu, sampai dengan munculnya koalisi yang mengusung capres dan cawapres tertentu, di salah satu stasiun televisi pasangan capres dan cawapres dari satu partai masih terus menghiasi layarnya. Andai saja partai mereka memenangkan pemilu legislatif atau mampu mengalang koalisi niscaya pasangan itu akan menjadi pasangan terpopuler di layar televisi.

Setelah pengumuman pemenang pemilu legislatif dimana tidak ada partai yang mampu mencalonkan capres dan cawpresnya sendiri, layar televisi mulai dipenuhi dengan drama menuju koalisi. Gejala-gejala polarisasi stasiun tertentu pada calon tertentu mulai kelihatan. Entah karena mencari omset iklan, entah juga karena keterkaitan stasiun televisi tertentu dengan elit-elit partai yang sedang kasak-kusuk cari jodoh.

Polarisasi menjadi sangat kental ketika akhirnya ada dua pasangan yang didaftarkan dan kemudian ditetapkan oleh KPU menjadi kandidat capres dan cawapres yang akan bersaing dalam pilpres 2014.

Stasiun televisi yang membela calon tertentu akan terus menerus memberitakan jagoannya dengan baik-baik, penuh glorifikasi. Sementara calon yang tidak didukungnya terus dibusukkan. Dicari-cari kesalahannya kalau perlu sampai salah bapak ibu, kakek dan neneknya.

Pertempuran di layar televisi yang meminjam pula mulut-mulut para elit politik dari dua kubu memanaskan suhu politik di Indonesia. Muncul istilah perang badar, sinting, PKI, Komunis dan isu primordial lainnya. Cara wudhu, mengucap salam dan sikap dalam berdoapun disoal.

Dan ajaibnya begitu hari pencoblosan tiba, stasiun televisi yang berbeda kubu, berlomba untuk cepat-cepatan menyajikan data yang biasanya dipakai sebagai cara untuk menentukan kemenangan dengan cepat. Hitung cepat yang biasanya berfaedah untuk memberi kepastian dengan segera berubah menjadi petaka. Stasiun televisi yang terafiliasi dengan masing-masing kubu menyiarkan hasil yang berbeda.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline