Selasa, 22 Juli 2014, KPU akan mengumumkan hasil rekapitulasi perolehan suara pemilu presiden 2014 secara nasional. Pengumuman KPU ini akan menjadi patokan untuk menentukan siapa yang kalah dan siapa yang menang. Idealnya keputusan KPU ini bersifat final dalam arti diterima oleh para kandidat pada saat itu, tidak ada keberatan sehingga tak ada yang mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi untuk menguji keputusan itu.
Berkaca dari situasi yang berkembang pasca pencoblosan, naga-naganya sikap yang selalu digembar-gemborkan dalam kompetisi untuk merebut suara rakyat, siap kalah dan siap menang sepertinya hanya akan menjadi slogan belaka. Beberapa jam paska perhitungan suara di TPS, beberapa lembaga survey mengumumkan hasil hitung cepat. Ada dua kelompok lembaga survey yang mempunyai hasil berbeda.
Masing-masing kandidat presiden mempercayai hasil hitung cepat yang memenangkan dirinya dan pasangannya. Alhasil muncul klaim kemenangan dari dua pasang kandidat presiden, sebuah situasi yang menimbulkan kekhawatiran, karena pemilu presiden bukan sekedar pertarungan dua pasangan, melainkan juga pendukung, pengusung, simpatisan, fans dan buzzer yang ada di belakang mereka.
Akibat pertentangan yang muncul dari perbedaan hasil hitung cepat muncul himbauan agar semua pihak menahan diri, tidak terlalu cepat mengadakan selamatan, syukuran atau bermacam acara lain untuk merayakan kemenangan. Semua pihak diminta untuk menunggu hasil perhitungan resmi dari KPU secara nasional untuk memastikan kemenangan.
Meski demikian hitung cepat tetap menjadi patokan, masing-masing pihak sepertinya yakin bahwa hitung cepat adalah gambaran perolehan suara mereka. Muncul semacam pernyataan “Kandidat kalah bukan karena tidak diberi suara oleh rakyat melainkan karena dicurangi”, jika kemudian hasil rekapitulasi suara dari KPU tidak sesuai dengan hitung cepat versi mereka masing-masing.
Kabar baiknya pernyataan negatif seperti itu memunculkan inisiatif positif, muncul individu dan kelompok relawan yang mendedikasikan kepandaiannya untuk membantu melakukan perhitungan suara secara terbuka berbasis pada formulir C1, formulir hasil perhitungan suara di TPS. Perhitungan itu muncul di situs internet yang popular disebut sebagai crowdsourcing. Salah satu yang terkenal adalah kawalpemilu.org.
Inisiatif yang disebut dengan volunterisme politik ini menarik. Masyarakat awam yang bisa jadi tidak terkait dengan para kandidat ini berpartisipasi aktif untuk mewujudkan pemilu yang bersih dan berintegritas lewat keterbukaan informasi. Apa ayng menjadi dasar perhitungan benar-benar terbuka untuk diakses oleh siapapun. Situs ini tidak serta merta menampilkan angka dan prosentase yang dasarnya tak bisa ditelusuri. Ini berbeda dengan klaim angka kemenangan dari kandidat yang di tweet atau diposting oleh buzzer tertentu, yang mengatakan bahwa informasinya adalah real count. Namun dari mana sumber data untuk menghitung angka-angka itu tidak jelas sumbernya.
Sayangnya inisiatif publik untuk mendorong pemilu bersih dan berintegritas, tak selalu diimbangi oleh para kandidat dan kelompoknya. Menjelang saat-saaat perhitungan akhir justru muncul tuduhan adanya kecurangan pemilu yang sistematis dan massiv. Semua tentu tahu, kecurangan yang sistematis dan massiv hanya bisa dilakukan oleh pelaksana pemilu dan pihak-pihak tertentu yang mempunyai kekuasaan, juga jaringan yang luas dari atas hingga ke bawah.
Pada masing-masing kandidat potensi untuk melakukan kecurangan secara sistematis dan massiv terbuka karena banyak kepala daerah di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota yang menjadi ketua tim sukses kandidat.
Muncul antagonisme, siapa yang berteriak pertama soal kecurangan seolah menuduh pihak lainnya curang dan pihaknya bersih. Siapa yang mengatakan duluan adalah yang benar. Tuduhan itu bahkan seolah dianggap nyata, meski kecurangan itu belum dilaporkan ke pengawas pemilu. Fatalnya keputusan yang seharusnya disampaikan oleh pengawas atau pelaksana pemilu lebih dulu disampaikan oleh salah satu kandidat. Ada kandidat yang meminta perhitungan rekapitulasi suara secara nasional ditunda. Padahal keputusan itu seharusnya dilakukan oleh pengawas pemilu berdasar laporan pelanggaran atau kecurangan yang masuk dalam kotak laporan mereka.
Pemilu presiden 2014, adalah pemilu ketiga kita memilih presiden dan wakil presiden secara langsung. Namun kita masih terus belajar bagaimana berdemokrasi. Kita bahkan belum bisa mendefinisikan dan mempraktekkan apa itu siap menang dan siap kalah. Dan sayangnya mereka yang bertarung dalam pemilu, mendapat jalan untuk menjadi pemimpin dengan cara demokratis justru kerap mengajarkan cara, pikiran, sikap dan perilaku yang bertentangan dengan demokrasi itu sendiri.
Pondok Wiraguna, 20 Juli 2014
@yustinus_esha