Lihat ke Halaman Asli

Pemilu Terheboh

Diperbarui: 18 Juni 2015   04:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Rekapitulasi suara pemilu presiden 2014 belum juga usai sudah muncul kehebohan. Di layar televisi tiba-tiba muncul breaking news. Calon presiden nomor urut 1 mengadakan konperensi pers yang pada intinya meminta tim saksi yang hadir dalam rekapitulasi nasional untuk mundur, keluar dari ruangan. Calon presiden nomor urut 1 menyatakan tidak akan menerima hasil rekapitulasi suara nasional yang saat itu bisa dipastikan akan memenangkan pasangan nomor urut 2.

Pernyataan menarik tim saksi dari rekapitulasi suara nasional menimbulkan efek heboh dan dramatis. Alasannya penyelenggara pemilu dianggap melakukan kecurangan sistemik, terstruktur dan massif. Pemilu presiden 2014 disebut sebagai pemilu yang kotor, tidak fair, tak berintegritas dan merusak demokrasi. Tidak ada cara lain untuk mengembalikan pemilu kepada marwahnya selain melakukan pemilu ulang. Pemilu yang telah berlangsung di batalkan. Yang semakin membuat heboh, calon presiden nomor urut 1 menyatakan tidak akan memakai mekanisme sengketa pemilu melalui mahkamah konstitusi. Apa dan bagaimana, dinyatakan hal itu tengah dikaji.

Berkaca dari penyelenggaraan pemilu legislatif 2014, kekecewaan terhadap penyelenggara pemilu sebenarnya bisa dipahami. Ada banyak kasus dimana penyelenggara pemilu terlibat dalam tindakan yang menguntungkan peserta pemilu tertentu. Namun dalam prakteknya yang disebut sebagai penyelenggara pemilu yang terlibat dalam tindakan tercela tidak secara khusus tertuju pada KPU melainkan mulai dari panitia pemunggutan suara di TPS, PPS hingga PPK.

Kecurangan dalam pemilu legislatif memang massif, terjadi mulai dari bilik pencoblosan hingga saat rekapitulasi suara di kelurahan, kecamatan hingga kabupaten. Kecurangan dimungkinkan karena rumitnya proses pemilu legislatif yang diikuti oleh banyak peserta pemilu. Hal mana membutuhkan waktu yang lebih panjang untuk melakukan perhitungan suara. Rentang waktu dari pencoblosan hingga perhitungan suara bertingkat yang panjang menjadikan kesempatan bagi para pihak untuk memainkan suara.

Namun menyamakan pemilu legislatif dengan pemilu presiden jelas serampangan. Pemilu presiden jauh berbeda dengan pemilu legislatif. Peserta pemilunya jauh lebih sedikit sehingga pengawasan kepada penyelenggara pemilu, panitia pelaksana pemilu dengan lebih mudah bisa dilakukan. Pengawas pemilu baik dari pihak pengusung, pendukung maupun pemantau indenpenden semua menyorotkan pandangannya kepada para pihak yang terlibat dalam pelaksanaan pemilu. Pun demikian halnya dengan pekerjaan badan pengawas pemilu yang juga lebih mudah dalam mengawasi jalannya tahapan dan proses pemilu.

Dalam tahapan kampanye misalnya, para calon presiden sebenarnya tak terlalu memanfaatkan masa kampanye untuk mensosialisasikan dirinya. Alat peraga kampanye juga tak massif dipasang sebagaimana terjadi dalam masa sosialisasi dan kampanye pemilu legislatif. Gambar calon presiden tertentu yang saat itu belum punya pasangan dan belum didaftarkan ke KPU, justru lebih banyak terpampang di jalanan dibanding ketika sudah resmi menjadi calon presiden yang ditetapkan dan diresmikan oleh KPU.

Saat itu semua calon legislatif dari partai yang didirikan oleh capres nomor urut 1, selalu memasang wajahnya dengan tulisan jika partainya menang dan pendirinya menjadi presiden maka setiap desa akan mendapat anggaran 1,5 M per tahun. Atau jika pendiri partainya menjadi presiden maka semua anggota partai yang terpilih menjadi anggota legislatif akan menyumbangkan pendapatannya kepada masyarakat, dan lain sebagainya.

Jadi calon presiden nomor urut 1 sudah jauh-jauh hari menciptakan ‘kehebohan’ terlebih dahulu, memasuki orbitasi ke jalur pemilu presiden lebih dini ketimbang calon presiden dengan nomor urut 2. Dengan demikian punya waktu yang lebih panjang untuk memulai berbagai macam rekayasa (positif maupun negatif) untuk mendukung ke arah pencapaian sebagai presiden Indonesia yang ke 7.

Menuduh penyelenggara pemilu yaitu KPU melakukan kecurangan yang terencana untuk memenangkan calon tertentu dalam hal ini adalah calon presiden dengan nomor urut 2 jelas sebuah tuduhan yang absurbs. Tuduhan ini jelas hanyalah pertanda keputusasaan untuk sekedar menunda kekalahan yang pada akhirnya harus diterima. Kenapa menunda?. Sebab tuduhan ini yang paling masuk akal untuk membuat munculnya peluang dari kalah menjadi menang. Hanya saja semua yang masuk akal tak sama artinya dengan bisa diwujudkan.

Maka ibarat gerombolan demonstran yang hanya bisa berteriak lawan-lawan dan lawan. Tim pendukung capres nomor urut 1 juga melakukan hal yang sama. Melawan dengan segala cara, mulai dari jalur konstitusi hingga jalur perdukunan. Di dunia sosial media perlawanan juga tak kalah kerasnya. Pihak lawan terus dibusukkan, pun penyelenggara pemilu juga dihujani bermacam fitnah.

Muncul tuduhan hasil pemilu telah di hack, padahal semua juga rekapitulasi tidak memakai e-counting sebagaimana lembaga riset pemilu melakukan quick count. Rekapitulasi suara tetap saja dilakukan secara manual disaksikan oleh dua pihak peserta pemilu dan pemantau. Kalau bernada elektronik itu terjadi karena perhitungan dibantu oleh komputer lalu ditayangkan di layar dengan bantuan LCD.  Lalu KPU juga berinisiatif untuk menampilkan hasil scanning C1 di websitenya, dan kemudian disusul oleh form-form rekapitulasi pada tahap berikutnya. Apa yang ditampilkan di web KPU adalah hasil yang sudah disepakati dalam perhitungan suara bertingkat mulai dari TPS hingga tingkat selanjutnya. Jadi di bagian mana para hacker bisa merubah perhitungan suara?.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline