Lihat ke Halaman Asli

Yustinus Prastowo

TERVERIFIKASI

"Presiden Jokowi, Mana Dirjen Kami?"

Diperbarui: 1 Februari 2016   18:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

 Jakarta, 1 Februari 2016

Tulisan ini tentu saja bukan sebuah desakan karena kami tak mempunyai kekuatan politik untuk mendesak seorang Presiden. Apalagi kita maklum karakter Presiden Jokowi yang tak sudi didesak atau dipaksa. Ini hanya sebuah pengingat sederhana perihal sesuatu yang amat penting dan menentukan berhasil atau gagalnya pembangunan, dan barangkali juga menyangkut jatuh bangunnya Indonesia di masa mendatang. Sayangnya, panggung politik yang hingar bingar sudah kadung gandrung dengan tontonan murahan dan remeh temeh, dan hampir tak menyisakan celah untuk menghirup akal sehat.

Semoga ingatan kita tak terlampau pendek untuk sekedar membuka catatan kecil di sepanjang Desember 2015, ketika Pemerintah melalui Kemenkeu dan Ditjen Pajak berjibaku menutup kekurangan penerimaan negara untuk memenuhi kebutuhan belanja. Atau memahami rangkaian peristiwa sepanjang 2015 yang membuat terengah-engah dan menghasilkan lelah: berlarut-larutnya pemilihan dirjen pajak yang tenggelam oleh drama pengangkatan Kapolri, tekanan perekonomian yang melambat, kebutuhan insentif fiskal untuk menjaga performa ekonomi, dan akhirnya Sigit Pramudito mengundurkan diri.

Kita semua berharap angin baik memihak Indonesia tahun ini. Optimisme layak disemai, bahwa pencapaian 2016 akan lebih baik dibandingkan 2015 tetapi dengan serangkaian prasyarat dan catatan. Salah satunya adalah tidak lagi terlambat memulai. Bagi saya pribadi, meski hanya institusi eselon satu, Ditjen Pajak adalah lembaga yang amat penting dan strategis bagi bangsa ini. Sedikitnya 70% pendapatan negara di APBN dipikul Ditjen Pajak dan seorang dirjen pajak adalah dirijen penting yang akan meramu orkestra pemungutan pajak yang baik – memimpin sekitar 37 ribu pegawai. Bahkan jika boleh jujur, Ditjen Pajak jauh lebih penting dibandingkan eksistensi beberapa kementerian yang terkadang raison d etre-nya sekedar memenuhi hasrat politik ketimbang kebutuhan nyata masyarakat. Ringkas kata, berhasil tidaknya kinerja seorang Presiden amat ditentukan kinerja perpajakan.

Maka Presiden Jokowi yang baik, mohon disegerakan mengangkat dirjen pajak. Begitu banyak hal besar akan kita lakukan di tahun ini: pengampunan pajak, revisi UU Perpajakan, pemenuhan target pajak sebesar Rp 1.368 trilyun, membangun administrasi perpajakan modern, menyongsong era baru keterbukaan informasi, transformasi kelembagaan, dan agenda penting lain. Jika dokumen Nawacita dan Visi Misi Jokowi-JK dibuka kembali, sulit rasanya memungkiri bahwa kemandirian ekonomi adalah salah satu hal penting yang ingin diwujudkan, dan pajak adalah tiang penopangnya. Jokowi sejak awal menyadari bahwa pajak dan Ditjen Pajak adalah bagian penting dalam pemerintahannya sehingga perhatian besar yang diberikan sejak awal merupakan modal besar untuk membangun sistem perpajakan yang lebih baik, kokoh, dan berdaya lanjut.

Ditjen Pajak perlu segera merumuskan strategi, melakukan konsolidasi dan koordinasi, dan berlari cepat mengejar target. Dirjen Pajak definitif adalah prasyaratnya, lantaran sebagai nahkoda ia akan memandu arah kapal besar ini berlayar – akan kandas ataukah berlabuh di pulau keberhasilan. Presiden Jokowi tak perlu kesulitan memilih satu dari sekian banyak putra-putri terbaik di internal Kemenkeu yang layak menjadi nahkoda. Keberterimaan di internal, kepemimpinan yang teruji, kompetensi unggul, dan integritas yang baik barangkali dapat menjadi batu uji. Lebih dari itu, Presiden dapat merasakan kimia para kandidat, siapa yang lebih sesuai dengan cita rasa dan karakter seorang Jokowi agar dapat optimal bekerja sama dan bahu-membahu. Cara termudah tentu saja menilai berdasarkan kinerja para kandidat, terutama pencapaian di 2015 – kondisi yang hampir serupa dihadapi saat ini. Atau Anda bisa bertanya kepada para pegawai pajak, tentang harapan, tantangan, persoalan, dan juga jalan keluarnya. Tak terkecuali soal nama-nama.

Yang terutama adalah jangan sampai kita terkesan bermain-main untuk sesuatu yang penting, atau mementingkan hal yang justru sebagai luaran dan remeh temeh. Rakyat menunggu keputusan seorang Jokowi yang penuh kejutan, kerap tak terduga, namun juga dilambari intuisi yang kuat. Ibarat kata, jabatan dirjen pajak yang strategis ini dipenuhi gula-gula, hingga banyak lebah kepentingan ingin ikut mencecapnya. Di tengah tarik-menarik kepentingan ini, kejernihan dan keteguhan diuji. Cukup pasti kita tak sedang bermain dadu atau mencoba-coba. Jika pun bertaruh, kita sedang bertaruh tentang masa depan, yang diukir melalui pajak warganya. Karena pajak bukan sekedar upeti atau setoran wajib, melainkan wujud partisipasi, ekspresi kepercayaan, dan ruang harapan. Memastikan kinerja perpajakan semakin baik berarti memperbesar nilai saham di neraca politik Indonesia. Kelak rakyat yang akan memanen dalam rupa kesejahteraan dan kemakmuran.

Terakhir, kita menyadari bahwa kita memilih dirjen pajak untuk Republik Indonesia, bukan negeri di awan atau bangsa malaikat. Meski tak sepenuhnya setuju dengan pragmatisme Deng Xiaoping yang tak peduli dengan kucing hitam atau putih yang penting dapat menangkap tikus, saya kira pertimbangan pragmatis ini penting: kita mencari dirjen pajak yang langsung bisa bekerja cepat, bukan yang masih butuh belajar atau coba-coba. Bukan pula pembual atau peramal, bukan bagi mereka yang merasa bisa tapi tak bisa merasa, tetapi bagi pekerja keras yang tekun dan rendah hati. Terlalu besar pertaruhan untuk bangsa yang semakin jauh tertinggal dari tetangga ini.

Siapa pun dirjen pajak terpilih, kita berharap ini pilihan terbaik yang terpantul dari pertimbangan yang bening. Sudah menjadi tugas kewajiban kita ikut merawat Ditjen Pajak, agar mereka dapat bekerja dengan baik, profesional, tanpa gangguan, nyaman, dan berhasil baik. Kita juga perlu mengubah cara pandang dalam mengukur. Apabila pencapaian target yang aduhai hanya menjadi satu-satunya ukuran, tak terhindarkan tiap tahun sistem ini akan memakan korban. Jika hari-hari ini adalah anomali, barangkali kegilaan memang patut ditoleransi. Dan soal ini sekali lagi saya percaya Presiden Jokowi akan membuktikan bahwa pilihannya tepat – bukan buat kepentingannya melainkan bangsa yang mulai letih namun penuh harap ini. Akhirnya ijinkan saya kembali bertanya,”Pak Jokowi, mana dirjen kami?”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline