Di zaman digital sekarang ini, modernitas menjadi hal yang lebih banyak berkembang di masyakarat. Manusia semakin maju saja pikirannya. Semakin berkembang pula kecanggihan-kecanggihan dan hal-hal baru, yang tujuannya bermacam-macam. Untuk eksistensi salah satunya. Media sosial menjadi berkembang sangat pesat untuk menunjukkan eksistensi manusia. Tapi di luar itu semua, masih ada lho hal-hal yang dirasa masih ndeso dan wagu, tapi itu ada. Saya ndak mau jauh-jauh memberikan contoh, sebab kejadian itu saya alami sendiri, hmmm, lebih tepatnya dilakukan oleh keluarga saya di Sleman, Yogyakarta.
Peristiwa itu adalah tradisi dawetan untuk anak sapi yang baru saja lahir. Wah, macam bayi manusia aja. Dibancaki, diselamati supaya hidupnya juga selamat, sehat dan tumbuh dengan kuat.
Menurut saya, kelahiran merupakan suatu awal kehidupan baru dari suatu keluarga. Sapi dalam kehidupan orang desa dianggap sebagai bagian dari keluarga. Karena dari memelihara sapi, itu mampu menghidupi keluarga yang lain. Katakanlah ketika anak butuh uang untuk sekolah, si orang tua menjual sapi, kemudian uangnya digunakan untuk biaya sekolah. Kelahiran merupakan suatu awal harapan baru dari yang baru lahir ke dunia itu. Harapan baru yang dititipkan pada sang jabang bayi, termasuk juga sapi.
Adapun ubo rampe dari tradisi tersebut, kalo orang Jawa bilang, adalah pisang 2 sisir, uang, dawet satu gelas, tumpeng kecil yang terdiri dari urap, telur dan snack.
Tak lupa juga jadah, atau tetel dibuat sang pemilik sebagai tambahan sesaji ucapan syukur atas kelahiran sang anak sapi tersebut.
Setelah semuanya disiapkan, kemudian sang penatua mendoakan sesaji tersebut. Intinya bersyukur atas kelahiran anak sapi dan semoga anak sapi tersebut bisa menjadi "harapan baru" bagi keluarga pemilik.
Sesaji atau sajen dalam wikipedia disebutkan sebagai bentuk sarana komunikasi masyarakat kepada kekuatan tertinggi yang memberi kehidupan dan menjadi pusat harapan atas berbagai keinginan positif masyarakat. Lagi-lagi berbicara tentang harapan. Ya, manusia hanya boleh menaruh harapannya pada Sang Pemilik dan Pemberi Kehidupan.
Harapan yang meski tak smua bisa terlaksana. Sajen atau sesaji tidak melulu tentang hal yang musrik, tapi lebih kepada simbol sebuah ungkapan rasa syukur yang dirupakan makanan dan minuman sebagai bentuk persembahan. Semoga kita tidak selalu menilai apa yang berbeda dengan kita sebagai sesuatu hal yang salah.